Menjadi Pewarta Kebenaran

Senin, 31 Agustus 2020 – Hari Biasa Pekan XXII

202

Lukas 4:16-30

Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab. Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”

Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” Maka berkatalah Ia kepada mereka: “Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!” Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon. Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorang pun dari mereka yang ditahirkan, selain dari Naaman, orang Siria itu.” Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.

***

Pernahkah kita bertanya mengapa orang Katolik masih ada yang melakukan korupsi, pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya? Bukankah Yesus sudah dengan jelas mengajarkan agar para pengikut-Nya menentang hal-hal yang tidak baik tersebut? Bukankah Yesus bahkan menggarisbawahi bahwa cinta kasih adalah norma tertinggi bagi murid-murid-Nya? Pertanyaan-pertanyaan itu membawa saya pada sebuah perenungan diri apakah saya sudah menjadi orang Katolik yang sejati.

Melalui bacaan Injil hari ini, kita diajak untuk melihat penolakan yang dialami Yesus oleh orang-orang sekampung-Nya. Ia mewartakan kebenaran, namun kebenaran yang disampaikan-Nya tidak sesuai dengan kehendak umum. Kebenaran dengan ini dikalahkan oleh suara massa.

Kemarin kita disuguhi drama mengenai Petrus yang menolak untuk mengalami kegagalan. Ia sulit memahami dinamika salib. Hari ini dinamika salib diisi dengan kata “kebenaran.” Paus Fransikus mengatakan, “The truth is humble, the truth is silence.” Yang dikatakan Bapa Paus menunjuk pada sosok Yesus yang begitu rendah hati dan penuh keheningan. Ia tetap tenang menerima segala cemoohan orang-orang sekampung-Nya; Ia tetap berpegang pada kebenaran yang diwartakan-Nya.

Saudara-saudari terkasih, beranikah kita menyatakan kebenaran di dalam hidup harian kita? Mari kita sadari bersama bahwa dengan menyatakan kebenaran, kita berjuang memanggul salib bersama Tuhan.