Otoritas yang Dipertanyakan

Sabtu, 29 Mei 2021 – Hari Biasa Pekan Biasa VIII

198

Markus 11:27-33

Lalu Yesus dan murid-murid-Nya tiba pula di Yerusalem. Ketika Yesus berjalan di halaman Bait Allah, datanglah kepada-Nya imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua, dan bertanya kepada-Nya: “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu, sehingga Engkau melakukan hal-hal itu?” Jawab Yesus kepada mereka: “Aku akan mengajukan satu pertanyaan kepadamu. Berikanlah Aku jawabnya, maka Aku akan mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu. Baptisan Yohanes itu, dari surga atau dari manusia? Berikanlah Aku jawabnya!” Mereka memperbincangkannya di antara mereka, dan berkata: “Jikalau kita katakan: Dari surga, Ia akan berkata: Kalau begitu, mengapakah kamu tidak percaya kepadanya? Tetapi, masakan kita katakan: Dari manusia!” Sebab mereka takut kepada orang banyak, karena semua orang menganggap bahwa Yohanes betul-betul seorang nabi. Lalu mereka menjawab Yesus: “Kami tidak tahu.” Maka kata Yesus kepada mereka: “Jika demikian, Aku juga tidak mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu.”

***

Dalam bacaan Injil kemarin, Yesus dikisahkan mengusir para pedagang yang melakukan transaksi jual beli di halaman Bait Allah. Keesokan harinya, sebagaimana dikisahkan dalam bacaan Injil hari ini, sementara Yesus berjalan di sekitar Bait Allah, imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat, dan tua-tua mendekati-Nya lalu mempertanyakan atas kuasa mana Yesus melakukan tindakan tersebut. Kua pihak lalu teribat dalam pembicaraan, tetapi tidak menemukan titik temu.

Yesus tampaknya menyukai dialog dan pertukaran gagasan secara terbuka, tetapi hal itu haruslah didasari oleh ketulusan. Kalau para lawan berusaha untuk menjebak-Nya dengan kepura-puraan mereka, sebagaimana dalam bacaan Injil hari ini, Yesus tidak akan memberi mereka tanggapan. Hal serupa dilakukan juga oleh Yesus saat diadili di hadapan Kayafas, Herodes, dan Pilatus. Dia membela martabat-Nya dengan diam. Diam bukan berarti tanda menyerah dan tidak mampu. Dengan cara itu, Yesus justru berusaha mencari solusi yang lapang dalam berdialog dan bertukar gagasan secara benar dan tulus.

Dalam hidup sehari-hari, kita kadang berhadapan dengan situasi seperti yang dialami Yesus. Kadang kita berjumpa dengan lawan bicara yang berusaha menjebak dan memancing emosi kita dengan kepura-puraan mereka. Atau, mungkin kita sendiri sering bersikap seperti lawan bicara Yesus, yang selalu mempertanyakan hal-hal besar yang dilakukan orang lain.

Melalui kepicikan sikap lawan-lawan Yesus, kita diajak untuk belajar rendah hati. Di satu sisi, kita mesti bersikap rendah hati untuk melihat secara positif hal-hal besar yang orang lain lakukan dan mengapresiasinya bila perlu. Di sisi lain, belajar dari sikap Yesus, ketika kita berhadapan dengan kepicikan yang menjebak, dalam menanggapi mestinya kita tidak terbawa perasaan. Kita berusaha untuk berdialog dan bertukar gagasan dengan selapang mungkin. Seperti yang ditunjukkan Yesus, berdiam diri sekalipun bisa menjadi jalan emas untuk menghindari konflik, tetapi bukan berarti kita tidak mampu atau mau mengelak.

Mari kita ingat bahwa kedamaian sejati dapat digapai hanya melalui jalan kebenaran dan ketulusan, melalui dialog dan keterbukaan hati.