Pentingnya Garam dan Terang dalam Hidup Kita

Selasa, 8 Juni 2021 – Hari Biasa Pekan X

285

Matius 5:13-16

“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.

Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.”

***

Garam dan lilin merupakan dua benda yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Garam berfungsi untuk mengasinkan atau mengawetkan makanan, sedangkan lilin berfungsi untuk memberikan penerangan. Dengan garam, makanan kita menjadi awet dan berasa. Bila kita memasak, namun lupa memasukkan garam, masakan kita akan menjadi hambar. Namun sebaliknya, kalau kita terlalu banyak memasukkan garam, masakan kita bisa-bisa terlalu asin, sehingga kurang enak pula untuk disantap. Bagaimana dengan lilin yang berfungsi untuk menerangi? Di tengah kegelapan malam, cahaya lilin sekecil apa pun akan dapat kita lihat dengan baik.

Dalam khotbah di bukit, Yesus berkata kepada para murid-Nya, “Kamu adalah garam dunia. Kamu adalah terang dunia.” Yesus dengan tegas menyebut para murid, bukan orang lain, sebagai garam dan terang dunia. Sebagaimana garam dan terang dibutuhkan oleh dunia, keberadaan para murid juga sangat dibutuhkan oleh dunia. Mengapa demikian? Tidak lain karena mereka adalah saksi-saksi atas apa yang dilihat, didengar, dan dialami saat hidup bersama dengan Yesus. Mereka adalah saksi “peristiwa Yesus”, yaitu segala peristiwa yang mereka alami bersama dengan-Nya. Para murid diharapkan tidak hanya sekadar menceritakan kesaksian mereka dalam kata-kata, tetapi juga dalam perbuatan nyata.

Karena itulah dengan tegas Yesus berkata kepada para murid-Nya, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik.” Perlu diingat bahwa tujuan dari itu bukan untuk demi kemuliaan diri sendiri, apalagi untuk menyombongkan diri, melainkan untuk kemulian Bapa.

Seorang guru, pemuka masyarakat, apalagi pemuka agama, dituntut untuk memberikan teladan hidup yang baik. Kalau ada guru, pemuka masyarakat, atau pemuka agama yang tidak mampu melakukannya dan malah memberikan contoh perkataan dan perbuatan yang buruk, hal itu tentu sangat disayangkan. Para murid diajak untuk tidak menjadi orang yang demikian. Itulah maksud perkataan Yesus ini, “Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan?”

Dalam petuahnya, Santo Fransiskus Assisi mengajak para pengikutnya untuk tidak berpuas diri dengan pengetahuan yang baik dan kata-kata yang bijaksana kalau tidak mau melaksanakannya. Bahkan, sekalipun melaksanakannya, mereka juga tidak boleh berbangga diri karenanya. Ia berkata, “… Tetapi mengembalikannya kepada Tuhan Allah yang mahatinggi, pemilik segalanya yang baik, baik dengan kata-kata maupun dengan teladan mereka” (Pth. VII:4b).