Membenci Dosa dan Mengasihi Pendosa

Minggu, 3 April 2022 – Hari Minggu Prapaskah V

183

Yohanes 8:1-11

Tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun.

Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zina. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zina. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?” Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?” Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

***

Operasi Tangkap Tangan (OTT) biasanya telak, sehingga mustahil si korban mengelak. Mungkin seperti itulah nasib perempuan dalam bacaan Injil hari ini. Ia tertangkap basah berzina. Tentu dia berstatus istri atau tunangan seorang pria, sehingga dengan itu, ia mempermalukan suami dan keluarga besarnya. Menurut hukum Taurat, ancaman hukumannya pasti maksimal, yakni dirajam sampai tewas. Saksi ada banyak, kesalahannya jelas, sementara para pembela tidak ada. Penuntutnya juga bukan kaum sembarangan, yakni para pakar Taurat dan kelompok agama kelas atas.

Tidak ada celah hukum bagi si terdakwa. Dia benar-benar sendirian; seorang perempuan di tengah gerombolan pria yang marah. Ternyata perempuan yang terjerat hukum ini hendak dipakai untuk menjerat Yesus. Menolak menghukum si terdakwa berarti Yesus melawan Taurat. Sebaliknya, kalau Yesus menyepakati hukuman rajam, Ia pasti akan berurusan dengan penjajah Romawi yang melarang orang Yahudi menjatuhkan hukuman mati.

Namun, orang-orang itu salah besar. Yesus tidak terjebak dalam permainan licik mereka. Bagi Yesus, hukum adalah soal keadilan, bukan sekadar prosedur dan rumusan. Sejak awal, OTT ini jelas sudah pincang. Mengapa hanya si perempuan yang ditangkap dan dihadapkan? Di mana pria yang menjadi “rekannya” dalam berzina? Bukankah menurut hukum (Im. 20:10), dua-duanya harus dirajam? Meskipun tampaknya jelas, kasus ini rupanya tidak transparan. Bukti memang ada, tetapi tidak semua. Para praktisi hukum ini tidak sungguh ingin memperjuangkan keadilan. Lebih parah lagi, kasus ini ternyata sarat dengan kepentingan. Mereka hanya memakainya supaya dapat mempersalahkan Yesus.

Yesus juga tidak mau masuk ke dalam ranah hukum. Dia tidak menolak hukum Taurat, juga tidak bermaksud membongkar dan mengkritik niat jahat mereka. Dia hanya mengajak mereka bertanya pada diri mereka sendiri: Apakah mereka sendiri tidak pernah melanggar hukum Taurat? Karena itu, Yesus mengatakan agar siapa yang tidak pernah melanggar hukum atau berdosa, dialah yang hendaknya pertama mulai melempar batu. Ajakan untuk wawas diri ini ternyata efektif. Eksekusi tidak jadi dilakukan. Semuanya mundur satu per satu, mulai dengan yang paling uzur.

Tinggallah Yesus dengan si perempuan. Memang hanya Yesus sendirilah yang tidak berdosa. Hanya Dialah satu-satunya yang berhak menghukum si terdakwa. Akan tetapi, kendati berhak menghukum, Yesus malah memberinya kesempatan kedua. Ia tidak mengatakan bahwa perempuan itu tidak berdosa, tetapi menegaskan, “Jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Bagi Yesus, kasih dan pengampunan lebih efektif daripada eksekusi mati. Kasih dan pengampunan akan menggugah pendosa untuk bertobat dan tidak mengulangi perbuatannya. Ini optimisme ilahi yang sulit kita pahami: Dosa akan berkurang kalau pendosa dikasihi.

Yesus tentu tidak ingin membatalkan semua pengadilan dan hukuman. Kisah ini jangan diterapkan secara harfiah, sebab tidak ada hakim yang tidak berdosa. Hukum dan lembaga pengadilan tetap harus ada. Yesus hanya ingin menggugah hati saya dan Anda: Lihatlah diri sebelum menghakimi! Perbanyaklah kasih, bukan eksekusi. Pendosa kita kasihi, dosanyalah yang harus kita benci.