Allah Adalah Kekayaan Sejati

Minggu, 31 Juli 2022 – Hari Minggu Biasa XVIII

391

Lukas 12:13-21

Seorang dari orang banyak itu berkata kepada Yesus: “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.” Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Saudara, siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?” Kata-Nya lagi kepada mereka: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari kekayaannya itu.”

Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu perumpamaan, kata-Nya: “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil darimu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.”

***

Seorang teman sempat menunjukkan kepada saya sebuah slogan yang berbunyi: “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.” Meskipun agaknya sebuah gurauan, slogan tersebut mengajak kita untuk berpikir juga: Apakah benar ada orang yang seperti itu? Jika benar ada, alangkah bahagianya orang itu karena sejak kecil sudah merasakan kebahagiaan hidup, apalagi sesudah mati bisa masuk surga. Banyak orang ingin seperti itu, kiranya kita juga demikian.

Bacaan Injil hari ini mengisahkan sebuah perumpamaan tentang seorang kaya yang bekerja keras untuk menimbun harta. Ia bangga dengan segala kepunyaannya, lalu mengajak jiwanya untuk menikmati kekayaan yang berlimpah-limpah itu. Berbeda dengan slogan yang saya sebut di atas, orang kaya ini tidak menyebut-nyebut tentang surga, sehingga agaknya tidak berpikir tentang kehidupan sesudah mati. Ia hanya memikirkan kesejahteraan dirinya sendiri dalam kehidupan di dunia ini. Sayang, sebelum sempat bersenang-senang dengan hartanya, nyawa orang kaya ini sudah terlebih dahulu diambil Tuhan.

Dengan itu, Yesus menunjukkan kepada kita bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak berarti kalau tidak diarahkan kepada yang di atas, yang kekal, yang abadi, yaitu Allah. Allah adalah kekayaan sejati. Orang kaya dalam bacaan Injil hari ini disebut bodoh karena merasa aman dengan pandangannya yang picik dan sempit. Ia tertipu oleh angan-angannya yang hanya sampai pada pemikiran tentang pembangunan lumbung, perut yang kenyang, dan kesenangan hidup. Orang itu tidak berpikir jauh bahwa ia tidak berkuasa atas hidupnya sendiri.

Yesus mengajak kita untuk membangkitkan kesadaran akan hidup yang berlandaskan pada Allah sebagai kekayaan sejati. Itulah bentuk kebahagiaan yang diajarkan oleh-Nya. Sejak kecil kita dimanja oleh kasih Tuhan melalui berbagai anugerah yang diberikan-Nya kepada kita. Sebagai tanggapan, kita diajak berpikir secara mendalam bagaimana agar hidup kita berguna bagi orang lain. Kasih Tuhan jangan disimpan sendiri, tetapi hendaknya dibagikan kepada sesama. Karena itu, alih-alih menimbun kekayaan duniawi yang suatu saat akan hilang, mari kita menyimpan kekayaan surgawi, yakni Allah sendiri, dalam hati kita. Sebagai pengikut Kristus, hendaknya kita tidak sekadar mengejar suasana bahagia, tetapi terutama berjuang untuk mewujudkan kasih Allah dalam kehidupan bersama.