Berdoa dengan Rendah Hati

Sabtu, 18 Maret 2023 – Hari Biasa Pekan III Prapaskah

104

Lukas 18:9-14

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

***

Dua sosok yang bertolak belakang ditampilkan oleh Yesus dalam perumpamaan yang kita dengarkan hari ini, yakni orang Farisi dan pemungut cukai. Yang satu memiliki citra yang sangat positif sebagai golongan orang saleh, sedangkan yang lain dianggap negatif sebagai orang berdosa dan musuh masyarakat karena bekerja bagi penjajah Romawi. Mereka berdua dikisahkan datang ke Bait Allah dengan tujuan yang sama, yakni berdoa.

Orang Farisi tampil pertama dan mendominasi perumpamaan ini dengan doanya yang panjang dan lengkap. Menganggap Tuhan tidak tahu apa-apa, orang itu melaporkan kepada-Nya semua prestasi dan kesalehan yang sukses dilakukannya. Lebih celaka lagi, orang itu menjadikan orang lain sebagai bahan perbandingan. Dia bersyukur karena “tidak sama seperti semua orang lain” dan “bukan juga seperti pemungut cukai ini”.

Sikap si pemungut cukai sangat berbeda. Ia berdiri jauh-jauh, tidak berani menengadah ke langit, dan malah memukul-mukul dirinya. Semua itu menggambarkan penyesalan si pemungut cukai akan dosa-dosanya. Di hadapan Tuhan, ia merasa kecil hati. Karena merasa tidak ada satu pun dalam dirinya yang dapat dibanggakan, pemungut cukai itu dalam doanya hanya berkata, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” Yesus menegaskan bahwa doa seperti inilah yang dibenarkan Allah.

Bagaimana kita bersikap pantas di hadapan Allah? Kata kuncinya adalah rendah hati. Sungguh baik bahwa dalam hidup sehari-hari kita berlaku benar, tidak berbuat dosa, mengulurkan tangan kepada orang-orang miskin, juga mempraktikkan kesalehan-kesalehan dalam hidup beragama, misalnya berpuasa. Namun, jangan sampai hal-hal positif itu rusak gara-gara kita jadikan sebagai sumber kesombongan, sampai-sampai perlu dilaporkan kepada Allah dalam doa, seakan-akan itulah jasa-jasa kita kepada-Nya.

Doa tidak membutuhkan kalimat-kalimat yang panjang. Kadang-kadang doa bahkan tidak membutuhkan kalimat sama sekali! Yang paling penting dalam doa kiranya adalah hati yang pasrah dan terbuka. Di hadapan Dia yang Mahabesar, manusia sesaleh apa pun bukanlah siapa-siapa. Jadi, alangkah baiknya jika kita hadapkan saja kepada-Nya kelemahan dan kekurangan kita, sambil memanjatkan permohonan semoga Dia berbelaskasihan kepada kita.