Jangan Marah, Ampunilah!

Minggu, 17 September 2023 – Hari Minggu Biasa XXIV

98

Matius 18:21-35

Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.

Sebab hal Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan utangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak istrinya dan segala miliknya untuk pembayar utangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala utangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan utangnya.

Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar utangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, utangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya utangnya.

Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh utangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh utangnya.

Maka Bapa-Ku yang di surga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.”

***

Ada yang bilang minta maaf itu lebih mudah daripada memaafkan. Manusia harus menundukkan hati dan ego untuk bisa mengucapkan kata maaf, tidak peduli apakah itu diucapkan dengan tulus atau terpaksa. Jika tulus, artinya ada kesadaran dan rasa bersalah. Sebaliknya, jika terpaksa, maaf hanya diucapkan di bibir, tidak diimani dalam hati. Mungkin itu diucapkan karena adanya tuntutan pihak tertentu atau tekanan situasi tertentu.

Lain halnya dengan pengampunan. Mengampuni itu tidak bisa dipaksakan. Butuh keikhlasan untuk menerima bahwa orang lain telah menyakiti dan melukai kita, dengan tidak sengaja maupun sengaja. Menjadi lebih sulit lagi jika yang menyakiti itu adalah orang dekat ataupun orang yang dikenal baik.

Mengampuni sering kali dilihat sebagai pemberian kepada pihak lawan, padahal ketika kita ikhlas mengampuni orang lain, yang pertama-tama menerima adalah diri kita sendiri. Sulur-sulur berduri kebencian yang muncul akibat rasa sakit karena dikhianati, yang selama ini melilit hati kita yang terluka, akhirnya bisa terlepas. Bayangkan jika sulur itu terus membelit hati kita. Kapan hati kita akan sembuh? Bagaimana kita akan terbebas dari kepahitan?

Tuhan menetapkan hukum pengampunan dengan adil. Sirakh dalam bacaan pertama (Sir. 27:30 – 28:9) menyatakan, “Ampunilah kesalahan sesamamu, maka dosa-dosamu pun akan diampuni jika engkau memohonnya” (Sir. 28:2). Tuhan tidak segan menghapus dosa-dosa kita, tidak peduli kecil atau besar. Syarat-Nya satu saja: Kita pun harus mengampuni sesama! Bagi Tuhan, sederhana saja: Standar kelayakan kita di mata-Nya setara dengan standar kelayakan sesama di mata kita. Itu pula yang diajarkan-Nya mengenai hukum kasih, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39). Bagaimana mengasihi sesama? Seperti kita mengasihi diri sendiri. Bagaimana mengampuni sesama? Seperti Tuhan mengampuni kita.

Kita sulit mengampuni karena belum bisa melupakan rasa sakit, dan karena ingin pihak lawan juga merasakan sakit yang kita rasakan. Mungkin juga kita sulit mengampuni karena tidak yakin pihak lawan menyesal, jera, dan tidak akan menyakiti kita lagi. Namun, bukan seperti itu cara Tuhan mengampuni kita. Ia yang dapat melihat hati tanpa syarat apa pun mau mengampuni kita yang lemah dan rentan akan dosa. Bahkan ketika kita jatuh, melukai hati-Nya lagi dan lagi, Ia tetap menerima pertobatan kita. Belas kasihan tanpa batas seperti itulah yang dituntut-Nya dari kita untuk sesama.

Akan tetapi, kita kan hanya manusia biasa, bukan Tuhan? Ya, itu benar. Namun, jangan lupa, kita dibentuk serupa dan secitra dengan-Nya. Artinya, kita pun dimampukan-Nya memiliki pengampunan tanpa batas untuk diberikan kepada sesama kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah datang pada-Nya, memohon dengan rendah hati agar diberikan keikhlasan untuk melepaskan rasa sakit dan amarah sehingga mampu mengampuni.