Panggilan untuk Mengasihi

Senin, 9 Oktober 2023 – Hari Biasa Pekan XXVII

121

Lukas 10:25-37

Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?” Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

***

Saudara-saudari yang terkasih, pernahkah kita menyadari bahwa saya dan Anda adalah pribadi-pribadi istimewa yang dipilih untuk dicintai Allah? Pengalaman dicintai ini sudah barang tentu mendatangkan sukacita. Benar-benar kita ini berharga; benar-benar kita ini mendapat tempat di hadapan Allah!

Pengalaman dicintai Allah adalah modal dasar bagi kita untuk mencintai sesama. Ketika dicintai, energi positif masuk ke dalam diri kita. Ketika mencintai, kita mengalirkan energi positif keluar kepada sesama, kepada masyarakat, kepada komunitas, dan kepada alam ciptaan. Bagi kita sebagai orang Katolik, mengasihi atau mencintai merupakan panggilan dan tugas pengutusan yang diberikan oleh Allah. Kita dipanggil dan diutus untuk mengasihi Allah dan sesama dengan sebulat hati, dengan gembira dan ikhlas, serta tidak ragu-ragu. Dasarnya adalah pengalaman dikasihi oleh Allah. Ia sudah lebih dahulu mengasihi kita, sehingga kita sekarang dipanggil untuk mengasihi dengan lebih sungguh.

Dari banyak pengalaman, mengasihi itu gampang-gampang susah. Mengasihi sesama yang dekat, akrab, sehobi, atau sefrekuensi dengan kita tentu mudah saja. Tidak demikian halnya terhadap orang-orang yang tidak kita kenal baik, tidak selevel, atau yang pernah mengecewakan kita. Namun, karena Allah mengasihi kita semua tanpa membeda-bedakan, tentunya kita diundang untuk mengasihi sesama tanpa membeda-bedakan juga. Jika kita masih pilih-pilih dalam mengasihi, itu artinya kasih kita belum sepenuh hati. Kasih kita masih berhenti pada pertimbangan rasa dan perasaan.

Panggilan untuk mengasihi menyadarkan kita bahwa hidup kita tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Seperti Yesus sebagai roti hidup dipecah dan dibagi-bagikan untuk banyak orang, kita pun hendaknya juga demikian. Mari kita memohon rahmat Allah agar dianugerahi kejernihan hati, supaya hari ini kita tidak melewatkan panggilan-Nya untuk mengasihi.