Cinta yang Sempurna

Rabu, 8 November 2023 – Hari Biasa Pekan XXXI

69

Lukas 14:25-33

Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.

Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.

Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.”

***

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus mengundang kita untuk merenungkan setiap jalan yang kita pilih dalam mengikuti panggilan kasih-Nya. Ajakan Yesus tersebut menekankan pentingnya kesetiaan dan pengorbanan, yang bahkan harus melampaui relasi kemanusiaan kita. Ia memanggil kita untuk mengutamakan hubungan dengan-Nya di atas segala-galanya.

Yesus bahkan berkata kepada orang banyak bahwa jika seseorang tidak lebih memilih-Nya daripada ayah, ibu, atau saudara-saudaranya, orang itu tidak dapat menjadi murid-Nya. Bagaimana kita memahami permintaan Yesus ini? Untuk menjadi murid Yesus, kita dituntut untuk memiliki semangat kesetiaan dan pengorbanan, untuk memiliki semangat kasih yang radikal, yang tidak mementingkan relasi persaudaraan dan kepentingan diri. Dengan itu, kita benar-benar menjadi murid-Nya.

Selanjutnya, melalui perumpamaan tentang upaya mendirikan menara dan rencana pertempuran, Yesus menyatakan dua syarat yang lain. Pertama, kita harus benar-benar menetapkan prioritas kita. Dalam Injil, orang banyak yang mengikuti Yesus digambarkan memiliki berbagai motif, misalnya kagum karena menyaksikan mukjizat yang dikerjakan-Nya, ingin dekat dengan-Nya, atau ingin disembuhkan. Hanya sedikit yang benar-benar berkomitmen kepada-Nya dan mau mengikuti ajakan-Nya. Kita dituntut untuk menetapkan prioritas kita dan tidak membiarkan hal-hal lain menghalangi semangat kita untuk menjadi murid Yesus.

Kedua, kita harus berani dan menerima dengan rela harga yang harus dibayar dalam mengikuti Yesus. Di bagian yang lain, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya bahwa mereka harus memikul salib dan mengikut Dia. Pengorbanan yang tulus mencerminkan semangat kasih tanpa pamrih dan paling sempurna. Ini sejalan dengan ajaran dan teladan Yesus yang memberikan diri-Nya demi keselamatan kita. Melalui pengorbanan yang tulus, kita menemukan arti sejati dari kasih dan pelayanan kepada sesama.

Semoga kita mampu menempuh jalan sebagai murid Kristus dengan hati yang diperbarui dan cinta yang tulus. Apa pun harganya, semoga kita mampu mengikuti kehendak-Nya dan bukan kepentingan kita sendiri. Semoga Roh Kudus menuntun kita untuk menemukan betapa pilihan kita kepada Yesus mampu membuat kita hidup dalam cinta yang lebih penuh, lebih benar, dan sempurna.