Berdamai dengan Tuhan

Rabu, 14 Februari 2024 – Hari Rabu Abu

75

Matius 6:1-6, 16-18

“Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”

“Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.

“Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”

***

Dalam retret penyembuhan luka batin sering ditemukan bahwa ketika seseorang mengalami pengalaman luka di masa lalu, yang pertama kali dipersalahkan olehnya adalah Tuhan. Muncul pertanyaan pokok di hati: Mengapa Tuhan membiarkan dia menderita atau mengalami pengalaman luka ini? Pengalaman penderitaan masa lalu, khususnya masa kecil, membuat pandangan kita tentang Tuhan menjadi keliru. Kita tidak lagi memandang Tuhan sebagai Allah yang penuh kasih atau sebagai Gembala yang baik. Relasi dengan Tuhan menjadi tidak baik-baik saja. Proses penyembuhan diri berarti juga proses memperbaiki relasi dengan Allah.

Hari ini sebagai orang Katolik, kita memasuki Masa Prapaskah yang dibuka dengan hari Rabu Abu. Penerimaan abu adalah tanda penyesalan dan pertobatan dari dosa. Pertobatan ini bertujuan mendamaikan diri manusia dengan Allah. Paulus dalam bacaan kedua (2Kor. 5:20 – 6:2) meminta jemaat di Korintus untuk berdamai dengan Allah dengan meninggalkan dosa.  Sementara itu, dalam bacaan Injil, Yesus mengingatkan murid-murid-Nya agar melakukan kewajiban agama bukan untuk tujuan mencari pujian. Praktik-praktik munafik seperti yang dibuat orang Farisi tidak boleh diikuti oleh murid-murid Yesus. Tujuan dari praktik-praktik keagamaan seperti doa, amal, dan puasa bukan untuk mendapatkan pujian dari manusia, melainkan untuk memperbaiki relasi yang rusak dengan Allah.

Beramal kepada sesama hendaknya tidak perlu digembar-gemborkan agar dipuji orang lain sebagai pahlawan. Berdoa adalah upaya menjalin relasi yang lebih intim dengan Tuhan, bukan untuk mencari gelar “profesor kesucian” dari manusia. Puasa hendaknya semakin memperkuat semangat kerendahan hati, yang menuntun manusia pada kedekatan relasi dengan Tuhan dan sesama. Puasa akan mendukung doa dan amal kasih para murid Yesus. Puasa hendaknya juga membuat para murid semakin berpasrah pada kehendak Allah, bukan untuk memperbesar kesombongan diri dengan mengumpulkan pujian dari manusia. Demikianlah kewajiban-kewajiban agama dilakukan untuk tujuan yang bernilai tinggi, yaitu agar semakin dekat dengan Tuhan dan sesama.

Relasi kita dengan Tuhan dan sesama sering kali tidak berhasil baik karena kecenderungan untuk mengejar kemuliaan diri. Keinginan untuk mementingkan diri sendiri membuat praktik-praktik keagamaan menjadi dangkal. Dalam Masa Prapaskah ini, mari kita mengusahakan perdamaian dengan Allah lewat doa, puasa, dan amal kasih yang tulus demi kemuliaan Tuhan dan kebahagiaan bersama. Perdamaian ini memiliki daya penyembuhan diri yang dahsyat.