Puasa yang Benar

Jumat, 16 Februari 2024 – Hari Jumat sesudah Rabu Abu

103

Matius 9:14-15

Kemudian datanglah murid-murid Yohanes kepada Yesus dan berkata: “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.”

***

Orang bijak sering menganjurkan agar orang menghargai isi daripada bungkusnya. Sering kali manusia lebih memandang dan menghargai bungkusan daripada isi dari bungkusan itu. Saya pernah membaca kalimat bijak yang menarik ini: “Rumah yang indah adalah bungkusnya, keluarga yang bahagia adalah isinya. Kecantikan dan ketampanan adalah bungkusnya, kepribadian dan hati yang baik adalah isinya.” Namun, banyak orang lebih suka mengejar hal yang merupakan bungkusan, bukan isi; menghargai yang lahiriah daripada yang bernilai luhur dan mendalam.

Para murid Yohanes datang kepada Yesus dengan pertanyaan tentang kewajiban menjalankan puasa dalam tradisi Yahudi. Mereka heran dan bertanya, mengapa Yesus tidak mengajarkan para murid-Nya untuk berpuasa. Pertanyaan ini berasal dari kekurangpahaman mereka tentang makna puasa yang sesungguhnya. Yesus menjawab rasa ingin tahu mereka itu dengan pertanyaan yang berupa perumpamaan: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka?”

Yesus hendak mengajak orang-orang itu melihat tentang makna sesungguhnya dari puasa yang tidak hanya sebatas melakukan aturan, tetapi untuk semakin dekat dengan Tuhan dan sesama. Kedekatan ini mendatangkan sukacita. Puasa bukan hanya soal makan dan minum. Memang praktik lahiriah puasa itu penting, tetapi orang sering kali mengabaikan inti dari puasa sendiri, yaitu untuk bertobat dan menjadi akrab dekat dengan Tuhan dan orang lain. Ketika Allah ada di hati dan dekat dengan kita, kita tidak akan berpuasa, tetapi bersukacita. Saat kita jauh dari Tuhan dan sesama karena impitan kesibukan duniawi, nafsu dan ambisi-ambisi pribadi, saat itulah kita harus berpuasa.

Puasa yang benar adalah puasa yang membawa sukacita karena kita bertobat dan kembali hidup di jalan Allah, kembali berelasi intim dengan Tuhan. Puasa semestinya tidak sedangkal tidak boleh makan dan minum. Puasa yang benar adalah puasa yang mendorong terjadinya pertobatan dan perdamaian dengan Allah dan sesama. Puasa yang demikian akan berujung pada sukacita, bukan dukacita atau muka muram. Kewajiban agama yang dilakukan demi aturan itu sendiri atau supaya dilihat orang bukanlah praktik iman yang benar. Kejarlah isi, bukan bungkusan, niscaya hidup kita akan lebih bermakna dan bahagia.