Menempatkan Tuhan sebagai Pusat

Sabtu, 9 Maret 2024 – Hari Biasa Pekan III Prapaskah

67

Lukas 18:9-14

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

***

Dipuji memang menyenangkan, sebab menempatkan kita pada posisi lebih tinggi daripada yang lain. Dengan itu, kita akan menjadi pusat perhatian. Sebaliknya, kita pasti akan kesal, kecewa, dan marah ketika direndahkan atau ditempatkan pada posisi yang salah. Kiranya itulah kecenderungan manusiawi kita, yakni suka dipuji. Adakah yang salah dengan itu? Sebenarnya tidak. Pujian adalah sesuatu yang baik, apalagi kalau benar dan tidak mengada-ada. Yang dapat membawa kita pada kesalahan adalah ketika pujian membuat kita menjadi besar kepala, sombong, menganggap diri paling benar, paling hebat, menempatkan diri sebagai pusat, dan memandang rendah orang lain. 

Hari ini, Yesus mengingatkan kita akan pentingnya kerendahan hati. Jangan menempatkan diri kita sebagai pusat, sebab pusat segala sesuatu adalah Allah. Ajaran-Nya ini disajikan dalam bentuk perumpamaan yang menampilkan seorang Farisi dan seorang pemungut cukai yang sama-sama berdoa di Bait Allah.

Mari kita melihat perbedaan sikap antara orang Farisi dan pemungut cukai tersebut. Orang Farisi itu berbangga hati karena telah melakukan perintah Taurat dan tidak melakukan yang jahat. Dia bersyukur karena telah melakukan banyak kebaikan, tetapi dengan itu, dia menjadikan dirinya sebagai pusat, bukan Allah. Sambil memuji dirinya sendiri, dia bahkan  mencela dan merendahkan orang lain yang tidak sebaik dirinya. Sementara itu, si pemungut cukai menyadari kerendahan dan dosa-dosanya di hadapan Allah. Ia berdiri jauh-jauh, bahkan tidak berani menengadah ke langit. Dia memukul-mukul dirinya dan memohon pengampunan dari Tuhan. Orang ini menempatkan Allah sebagai pusat, sebagai pihak yang dapat memberikan pengampunan atas kerapuhan dirinya.

Melalui perumpamaan ini, Yesus menekankan bahwa setiap orang yang meninggikan diri akan direndahkan, dan yang merendahkan diri akan ditinggikan. Ini memberi pesan kepada kita bahwa nilai yang diperhatikan dan dihargai oleh Tuhan adalah kerendahan hati. Dengan bersikap rendah hati berarti kita mengakui ketergantungan kita pada Allah dan sadar akan keadaan diri kita yang penuh dosa. Sikap rendah hati akan membuka pintu belas kasihan dan karunia Tuhan. Dengan bersikap rendah hati berarti kita juga menjadikan Allah sebagai pusat kehidupan kita.

Marilah kita merefleksikan sikap dan perilaku kita sehari-hari: Apakah ketaatan kita pada aturan-aturan Gereja dan kerajinan kita dalam mengikuti kegiatan-kegiatan Gereja justru membuat kita menjadi sombong seperti orang Farisi itu? Bersediakan kita bersikap rendah hati seperti pemungut cukai itu?