
Markus 9:41-50
“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya.”
“Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut. Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung daripada dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam neraka, ke dalam api yang tak terpadamkan; [di tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam.] Dan jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan timpang, daripada dengan utuh kedua kakimu dicampakkan ke dalam neraka; [di tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam.] Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan bermata satu daripada dengan bermata dua dicampakkan ke dalam neraka, di mana ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak padam.
Karena setiap orang akan digarami dengan api.
Garam memang baik, tetapi jika garam menjadi hambar, dengan apakah kamu mengasinkannya?
Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.”
***
Yesus memperingatkan murid-murid-Nya untuk tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Mereka tidak boleh memberi contoh buruk yang dapat menyebabkan orang lain berbuat dosa. Berkaitan dengan itu, Yesus mewanti-wanti para murid, “Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu.” Kita semua tentunya mengetahui fungsi garam. Sebelum energi listrik dan mesin pendingin ditemukan, fungsi garam bukan hanya untuk memberikan rasa lezat pada makanan, melainkan juga untuk mengawetkan daging agar tidak membusuk dan tetap kelihatan segar.
Yesus menggunakan ilustrasi garam untuk menunjukkan bagaimana para murid seharusnya hidup di tengah dunia dan sesama. Sebagaimana garam yang memberi kelezatan dan mengawetkan, para murid juga harus menjadi garam dalam kehidupan ini, yakni dengan menjadi pribadi-pribadi yang selalu menghadirkan sukacita, pengharapan, dan kedamaian. Bagaimana caranya? Yakni dengan melakukan tindakan-tindakan yang tulus dan penuh kasih, meskipun tindakan itu kecil dan sederhana saja, juga dengan menjaga kesucian hidup. Yesus mengundang kita untuk menghindari segala sesuatu yang bisa menjauhkan kita dari kasih Allah.
Saya teringat akan perkataan seseorang bahwa tangan bisa kita lipat untuk berdoa, tetapi bisa juga kita kepalkan untuk meninju; tangan kita bisa menuliskan pujian kepada Tuhan, tetapi bisa juga mencemarkan nama baik sesama. Contoh nyata dari hal ini bisa kita temukan dengan gampang di media-media sosial. Media sosial telah menjadi tempat di mana paradoks tangan terjadi. Di sana, kita bisa temukan tulisan-tulisan yang menggugah pikiran dan hati kita, tetapi juga ada begitu banyak tulisan yang berisi penghinaan yang bisa merusak kesehatan mental dan emosi seseorang.
Apakah kita mampu menjadi garam yang baik di tengah dunia, baik di dunia nyata sehari-hari maupun di dunia maya? Marilah kita selalu menanamkan semangat ketulusan hati dan menghindarkan diri kita dari tindakan yang menyesatkan orang lain. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk mendukung dan membimbing sesama. Jadilah garam yang baik bagi sesama kita.