Sedekah, Doa, dan Puasa

Rabu, 5 Maret 2025 – Hari Rabu Abu

89

Matius 6:1-6, 16-18

“Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”

“Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”

“Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”

***

Doa, puasa, dan sedekah adalah tiga keutamaan atau praktik kesalehan dalam agama Yahudi. Ketiganya merupakan pilihan dan tindakan pribadi yang dijalankan secara sukarela. Yesus mengkritisi sikap hati manusia dalam menjalankannya. Ajaran Tuhan menukik ke inti jiwa manusia. Bukankah pelbagai sifat dan tingkah laku kita mengalir dari sana? Karenanya, berkaitan dengan tiga praktik kesalehan pribadi itu berlaku prinsip dasar: “Jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga.”

Dalam jemaat Tuhan, perbuatan baik seperti memberi sedekah harus menjadi aksi yang spontan dan biasa saja, tanpa perhitungan atau tujuan untuk pamer. Tetangga dan sahabat terdekat tidak perlu tahu, bahkan diri sendiri pun tidak perlu menghitung. Dengan itu, berbuat baik bukanlah demi pujian dan kehormatan di mata manusia, melainkan demi relasi dengan Allah yang menciptakan semua manusia sederajat, sehingga berhak atas keadilan yang setara.

Prinsip yang sama berlaku juga untuk doa dan puasa. Doa pribadi janganlah menjadi pameran kesalehan agar dilihat dan dipuji orang. Hidup beragama janganlah menjadi sandiwara kesalehan. Sebagai ungkapan relasi personal dengan Bapa di surga, doa cukup ditujukan kepada-Nya dengan cara dan tempat yang tidak menyolok mata.

Sementara itu, puasa harus sungguh menjadi ungkapan perendahan diri di hadapan Allah yang maha pemurah dan pengampun. Tidak perlu mengungkapkan hal itu dengan mengubah ekpresi wajah agar dilihat orang. Yesus justru menegaskan hal sebaliknya: Minyakilah rambut dan cucilah mukamu! Puasa yang dijalankan agar dilihat orang akan dihargai dan dipuji manusia. Itu saja upahnya, tidak lebih. Sebaliknya, puasa yang dijalankan secara sungguh-sungguh sebagai ungkapan ketidakpantasan diri di hadapan Allah pasti dilihat dan dihargai oleh-Nya.

Demikianlah sedekah, doa, dan puasa seharusnya dijalankan dengan kasih, tanpa pamrih dan keinginan untuk pamer. Hanya Bapa kita di surga yang tahu. Biarkan Dia saja yang mengganjar kita sesuai dengan kasih-Nya.