Kesombongan dan Kerendahan Hati

Sabtu, 29 Maret 2025 – Hari Biasa Pekan III Prapaskah

67

Lukas 18:9-14

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

***

Kesombongan adalah salah satu dosa yang sering dilakukan tanpa sadar. Tanpa sadar, orang bersikap sombong dengan merasa lebih pintar, lebih kuat, lebih benar, atau lebih layak dibandingkan orang lain.

Orang Farisi dalam perumpamaan yang kita dengarkan hari ini berdoa dengan penuh kesombongan. Ia membandingkan dirinya dengan orang lain, yaitu pemungut cukai yang ada di sebelahnya. Ia menganggap dirinya lebih baik karena perbuatan-perbuatannya yang saleh, seperti berpuasa dua kali seminggu dan memberi persepuluhan. Meskipun hidup orang Farisi ini benar, ia jatuh dalam kesombongan.

Kesombongan membuat orang lupa bahwa segala sesuatu yang ada padanya berasal dari Allah. Bakat, kepintaran, kekayaan, bahkan kehidupan ini adalah anugerah dari Allah. Ketika orang mulai mengandalkan diri sendiri dan melupakan Allah, ia berada pada jalan menuju kesombongan. Godaan kesombongan ini akan semakin kuat ketika ia membandingkan diri dengan orang lain.

Sikap sebaliknya ditunjukkan oleh pemungut cukai. Ia berdiri agak jauh, tidak berani menengadah ke langit, dan hanya berkata, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” Ia tidak membela dirinya, tidak menyombongkan diri, dan bahkan tidak berani menatap langit karena merasa tidak layak di hadapan Tuhan. Satu-satunya yang ia lakukan adalah mengakui diri sebagai orang berdosa dan memohon belas kasihan Allah. Pemungut cukai ini diliputi rasa bersalah. Meski begitu, pemungut cukai tersebut meninggalkan Bait Allah dalam keadaan yang lebih baik. Ia pulang ke rumah sebagai orang yang dibenarkan Allah.

Dari kacamata iman, perasaan bersalah “mengganggu” hati nurani yang palsu. Orang cenderung menutupi kesalahan dan mencari pembenaran diri. Dengan adanya rasa bersalah, hati nurani yang sejati akan terus membisikkan apa yang benar. Kerendahan hati dimulai ketika orang merasa bersalah dan mengakui diri berdosa.

Bacaan Injil hari ini juga mengajarkan bahwa keselamatan pertama-tama bukan hasil dari perbuatan baik manusia, melainkan karena kasih dan rahmat Allah. Orang Farisi itu mengandalkan dirinya, membanggakan kebajikan-kebajikannya, sehingga akhirnya tidak dibenarkan. Sebaliknya, pemungut cukai itu mengakui dosa-dosanya dan merasa diri tidak layak. Ia memohon rahmat serta belas kasihan Tuhan, sehingga akhirnya dibenarkan. Orang Farisi itu adalah orang baik, tetapi ia tidak memandang Tuhan dan malah memandang dirinya sendiri. Sebaliknya, pemungut cukai itu melihat dirinya dalam hubungannya dengan Tuhan, sehingga matanya pun terbuka bahwa ia membutuhkan Tuhan, bahwa ia harus hidup berdasarkan kebaikan-Nya. Keselamatan terjadi bukan karena perbuatan baik kita, tetapi diberikan oleh Tuhan ketika Ia menemukan diri kita yang rendah hati, mengakui kesalahan, dan mau bertobat.

Maukah kita mengalami keselamatan Allah? Bersikaplah rendah hati dan bertobatlah!