Takut pada Kabar Baik

Selasa, 6 Mei 2025 – Hari Biasa Pekan III Paskah

32

Kisah Para Rasul 7:51 – 8:1a

“Hai orang-orang yang keras kepala dan yang tidak bersunat hati dan telinga, kamu selalu menentang Roh Kudus, sama seperti nenek moyangmu, demikian juga kamu. Siapakah dari nabi-nabi yang tidak dianiaya oleh nenek moyangmu? Bahkan mereka membunuh orang-orang yang lebih dahulu memberitakan tentang kedatangan Orang Benar, yang sekarang telah kamu khianati dan kamu bunuh. Kamu telah menerima hukum Taurat yang disampaikan oleh malaikat-malaikat, akan tetapi kamu tidak menurutinya.”

Ketika anggota-anggota Mahkamah Agama itu mendengar semuanya itu, sangat tertusuk hati mereka. Maka mereka menyambutnya dengan gertakan gigi. Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Lalu katanya: “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” Maka berteriak-teriaklah mereka dan sambil menutup telinga serentak menyerbu dia. Mereka menyeret dia ke luar kota, lalu melemparinya. Dan saksi-saksi meletakkan jubah mereka di depan kaki seorang muda yang bernama Saulus. Sedang mereka melemparinya Stefanus berdoa, katanya: “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku.” Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Dan dengan perkataan itu meninggallah ia.

Saulus juga setuju, bahwa Stefanus mati dibunuh.

***

Dalam bacaan pertama hari ini, kita mendengarkan sebuah peristiwa yang menggugah. Stefanus, hamba Tuhan yang penuh roh dan hikmat, mewartakan kebenaran kepada orang banyak. Ia menyampaikan sabda Tuhan dengan penuh semangat. Namun, tanggapan orang banyak sungguh mengejutkan. Bukannya dipenuhi rasa syukur, mereka malahan marah. Ketika Stefanus bersaksi bahwa ia melihat Yesus, Anak Manusia, berdiri di sebelah kanan Allah, mereka menutup telinga, meneriakkan penolakan, dan menyerbunya hingga mati.

Pengalaman ini menyentuh sesuatu yang dalam, yakni ketakutan. Ketika kebenaran menyentuh titik paling rentan dalam diri manusia, responsnya tidak selalu penerimaan. Kita sendiri tahu seperti apa wajah ketakutan itu, tidak lain adalah wajah orang yang merasa terancam oleh sesuatu yang mengguncang kenyamanan atau keyakinan yang dipegangnya dengan erat.

Kita sering membayangkan bahwa Kabar Baik pasti menyenangkan, menenangkan, dan memberi harapan. Akan tetapi, bacaan pertama hari ini mengingatkan kita bahwa bagi sebagian orang, Kabar Baik justru bisa terasa seperti kabar buruk karena menuntut perubahan. Kabar Baik mengguncang tatanan lama, memanggil keluar dari zona nyaman, sehingga bagi sejumlah orang, itu menakutkan.

Mengapa orang-orang begitu marah terhadap Stefanus? Barangkali itu bukan karena tuduhannya terhadap leluhur mereka, melainkan karena kesaksiannya tentang Yesus yang hidup. Yesus yang telah mati bisa dikemas sebagai tokoh sejarah, dan dikenang dalam batas aman. Namun, bagaimana dengan Yesus yang bangkit? Dia bukan lagi kenangan. Dia adalah kehadiran yang hidup, penggenapan janji, dan pembawa tatanan baru. Dia adalah Kebenaran yang tidak bisa disangkal. Dia adalah tantangan terhadap dunia lama, dan undangan kepada kehidupan yang sama sekali baru. Tidak heran, banyak orang pada waktu itu kiranya lebih nyaman dengan Yesus yang mati daripada Yesus yang bangkit.

Di sinilah doa terakhir Stefanus menjadi begitu indah dan relevan, “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Ia mengampuni bukan karena mereka layak, melainkan karena mengerti ketakutan mereka. Ia menyelami amarah mereka secara mendalam.

Hari ini, kita diundang untuk bertanya: Pada Masa Paskah ini, apakah kita menemukan kenyamanan dalam tatanan dunia kita? Apakah telinga kita masih tertutup terhadap suara kebenaran? Mungkin itu kita lakukan karena kita belum siap atau merasa takut. Namun, inilah harapan Paskah: Yesus yang bangkit jauh lebih besar daripada ketakutan kita. Dia tidak hanya menawarkan hidup yang baru, sebab Dialah hidup itu sendiri. Dalam terang kebangkitan-Nya, kita dipanggil bukan untuk bertahan dalam rasa aman, melainkan untuk melangkah dalam iman. Dia yang hidup memanggil kita untuk hidup sepenuhnya.