
Yohanes 15:12-17
“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku. Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”
***
Hari ini, Tuhan bersabda kepada kita, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
Ada tantangan umum dalam dunia dewasa ini, yakni berkembangnya egoisme, pesimisme, narsisme, serta segala sesuatu yang lebih banyak berpusat pada diri sendiri. Mengorbankan nyawa bagi sesama barangkali merupakan tindakan yang terasa aneh pada zaman sekarang. Hal itu berimplikasi luas dalam kehidupan bersama. Salah satu yang menonjol adalah dalam hal hidup berkeluarga. Beberapa waktu lalu, saat berkunjung ke Indonesia, Paus Fransiskus menyoroti bahwa banyak pasangan yang lebih suka memelihara anjing atau kucing daripada memiliki anak, sebab anak dipandang mengurangi kemerdekaan pribadi.
Namun, tidak demikian dengan Allah. Allah adalah kasih. Karena begitu mengasihi manusia, Allah mengutus Putra-Nya ke dunia supaya kita semua hidup oleh-Nya. Kasih Allah mencakup semua orang, apa pun kondisi dan situasinya. Kita semua adalah orang-orang yang lemah dan rapuh, sehingga mudah jatuh ke dalam dosa. Dosa menjadikan kita tidak selamat, sebab upah dosa adalah kematian. Yesus menjadi silih bagi kita agar kita tidak binasa, tetapi menerima anugerah kehidupan dan keselamatan kekal. Keselamatan yang datang dari Allah melalui Yesus Kristus bisa dialami oleh semua orang.
Kasih yang berasal dari Allah berpuncak dalam diri Yesus yang karena pengurbanan-Nya membuahkan keselamatan bagi kita semua. Agar perjalanan kita sampai pada keselamatan yang abadi, kita juga perlu untuk mewujudkan kasih tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sabda Tuhan, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” Dengan demikian, hendak ditegaskan bahwa keselamatan kita tergantung pada dua hal, yaitu pada kasih Allah dan pada sikap saling mengasihi di antara kita.
Kasih kepada sesama sesungguhnya bukanlah sesuatu yang sulit dipahami. Masing-masing dari kita memiliki pengalaman pertama bagaimana kita dapat hidup di dunia semata-mata karena kasih dari orang tua. Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia (2016) menulis, “Anak-anak begitu dilahirkan mulai menerima, bersama-sama dengan makanan dan perhatian, anugerah rohani dengan mengetahui bahwa mereka dikasihi. Tindakan kasih ini ditunjukkan kepada mereka melalui pemberian nama pribadi, berbagi bahasa, tatapan kasih, dan cerahnya senyuman. Dengan cara ini, mereka belajar bahwa keindahan relasi manusia menyentuh jiwa, mengupayakan kebebasan kita, menerima perbedaan orang lain, mengenali dan menghormati mereka sebagai rekan dialog. Seperti itulah kasih, dan ia mengandung sepercik kasih Allah.” Oleh sebab itu, Paus Fransiskus menggarisbawahi peranan keluarga sebagai tempat merayakan sukacita kasih. Dalam setiap keluarga, orang tua bekerja keras mempertaruhkan nyawa demi kasih kepada anak-anak mereka.
Marilah kita merayakan sukacita kasih mulai dari lingkungan terdekat hidup kita.