Dukacita yang Berubah Menjadi Sukacita

Jumat, 30 Mei 2025 – Hari Biasa Pekan VI Paskah

49

Yohanes 16:20-23a

“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita. Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia. Demikian juga kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu darimu. Dan pada hari itu kamu tidak akan menanyakan apa-apa kepada-Ku.”

***

Kedekatan Yesus dengan para murid secara spiritual dan emosional menjadikan perpisahan dengan Yesus meninggalkan ruang kosong dalam hati mereka. Bagaikan sebatang pohon yang tertancap kuat di tanah, lalu mendadak tercabut, kepergian Yesus meninggalkan lubang besar yang menganga. Inilah realitas kehilangan yang dimaksudkan Yesus dengan dukacita, tangisan, dan ratapan.

Namun, pada saat yang sama, ada juga orang yang bergembira karena kematian Yesus. Itulah sikap dunia yang anti-Kristus. Gusar dengan kehadiran dan ajaran Yesus, mereka mengira bahwa dengan kematian-Nya, Yesus dan ajaran-Nya akan lenyap selama-lamanya dari dunia.

Mereka keliru. Amanat Yesus tidak berakhir dalam kubangan duka. Sebaliknya, Ia mengatakan bahwa dukacita itu akan berubah menjadi sukacita. Bagaimana cara membalikkan kondisi batin yang penuh dukacita menjadi sukacita? Perlu adanya lompatan iman untuk dapat melihat jauh ke depan, pada apa yang akan terjadi setelah proses dukacita itu. Untuk itu diperlukan terang ilahi, iman, dan harapan.

Kita memperoleh terang ilahi dengan mau membuka diri pada Tuhan, membiarkan Dia bekerja dalam pikiran, hati, dan diri kita. Bukalah diri kita bagi kasih-Nya yang tak terbatas, agar kita dapat menjadi bijak dalam memandang kehidupan ini dengan pandangan ilahi, meskipun masih berada dalam tubuh duniawi. Fokus kita bukan lagi hal duniawi atau material semata, melainkan hal ilahi atau roh. Dengan rendah hati, kita memohon bantuan Roh Kudus untuk meneguhkan iman kita, sehingga selama hidup, kita bisa tetap setia mengikuti Yesus.

Yang tak kalah pentingnya adalah harapan. Dalam bulla kepausan mengenai Yubileum, yaitu Spes Non Confundit atau Harapan Tidak Mengecewakan, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa di dalam hati setiap orang, harapan berdiam sebagai hasrat dan ekspektasi akan hal-hal baik yang akan datang, meskipun kita tidak bisa memprediksi masa depan. Ketidakpastian akan masa depan terkadang menimbulkan perasaan yang saling bertentangan, mulai dari rasa percaya diri hingga rasa khawatir, dari ketenangan hingga kecemasan, dari keyakinan yang kuat hingga kebimbangan dan keragu-raguan. Paus Fransiskus mengingatkan kita untuk kembali kepada pesan Rasul Paulus, bahwa harapan itu lahir dari kasih dan didasarkan pada kasih yang mengalir dari hati Yesus yang tertusuk di kayu salib.

Kehidupan kita menjadi nyata dalam kehidupan iman kita sendiri, mulai dari baptisan, terus bertumbuh serta berkembang dalam keterbukaan kepada kasih Allah yang tak terbatas, dan dihidupkan oleh harapan yang terus-menerus diperbarui dan diteguhkan oleh karya Roh Kudus. Dengan adanya harapan, kita akan bertahan di tengah-tengah pencobaan dunia. Penderitaan menimbulkan ketabahan yang menghasilkan sikap tahan uji, dan sikap tahan uji itulah yang menciptakan harapan. Dengan dasar iman, serta dipupuk oleh kasih, harapan akan memampukan kita untuk terus maju dalam hidup.