Manusia Postkonvensional

Kamis, 12 Juni 2025 – Hari Biasa Pekan X

48

Matius 5:20-26

“Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.

Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.

Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar utangmu sampai lunas.”

***

Seorang ahli psikologi bernama Lawrence Kohlberg menggagas sebuah teori tentang tahap perkembangan moral manusia. Menurutnya, usia manusia tidak selalu berjalan bersama pertumbuhan moralitasnya. Dia membagi perkembangan moralitas dalam tiga tahap utama, yaitu tahap prakonvensional, konvensional, dan postkonvensional.

Pada tahap prakonvensional yang adalah tahap pertama, manusia, biasanya anak-anak, cenderung melaksanakan aturan karena imbalan atau hukuman. Para tahap konvensional, manusia cenderung melaksanakan aturan karena kewajiban atau demi aturan itu sendiri supaya dikatakan orang baik. Biasanya mereka ini berada pada tahap kanak-kanak akhir dan remaja. Orang yang berada pada tahap akhir, yakni postkonvensional, adalah mereka yang mampu melihat makna terdalam dari sebuah hukum atau aturan, yaitu untuk kebaikan manusia.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus berbicara tentang pentingnya para pengikut-Nya memiliki penghayatan hidup rohani dan moralitas yang dalam, yaitu kemampuan melaksanakan aturan untuk menciptakan Kerajaan Allah. Aturan dibuat untuk kebaikan bersama manusia. Hukum disusun untuk memperdalam relasi kasih antarmanusia dan agar manusia makin dekat dengan Allah.

Namun, Yesus mengkritik cara hidup orang Farisi dan para ahli Taurat yang masih dalam tahap konvensional. Mereka melaksanakan aturan demi aturan supaya dianggap baik. Akibatnya, mereka terjebak dalam praktik kemunafikan. Penghayatan keagamaan mereka dangkal, tidak mampu menyentuh makna terdalam dari sebuah aturan agama. Aturan hukum dan agama tidak membawa mereka makin memiliki kasih kepada Allah dan sesama, sebaliknya makin membuat mereka berjarak dengan Allah dan sesama, dan lebih parah lagi menghambat pertumbuhan rohani orang lain.

Yesus mengajak para pengikut-Nya untuk melaksanakan praktik keagamaan yang benar. Aturan hendaknya merupakan jalan untuk merasakan kehadiran Allah yang berbicara dan menuntun manusia agar memiliki kasih kepada sesama. Penghayatan ini tidak hanya dalam perilaku yang kelihatan, tetapi juga dalam hati dan dalam sikap batin. Yesus mau agar orang melihat akar dari kejahatan, yaitu hati yang jahat dan sikap yang negatif terhadap sesama. Melaksanakan kewajiban agama yang benar harus dimulai dari hati yang penuh kasih dan sikap yang positif terhadap sesama. Aturan dibuat agar orang makin memperdalam kasih kepada Allah dan sesama.

Beragama yang benar akan semakin membuat orang mengalami dan percaya akan kasih Allah. Beragama yang sejati akan semakin membuat orang menghargai sesama makhluk ciptaan, sesama manusia, dan alam semesta. Orang beragama yang masih membuang sampah sembarangan, masih suka menendang anjing yang tidak bersalah, masih membenci sesama, masih pelit terhadap orang lain, atau masih menindas karyawannya tidak jauh berbeda dengan orang Farisi dan para ahli Taurat pada zaman Yesus.

Mari bertumbuh menjadi manusia postkonvensional yang menjadikan aturan atau praktik keagamaan atau latihan rohani sebagai sarana untuk semakin dekat dengan Allah, serta semakin respek dan mengasihi sesama ciptaan.