Api Kristus yang Membawa Pertentangan

Kamis, 23 Oktober 2025 – Hari Biasa Pekan XXIX

10

Lukas 12:49-53

“Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala! Aku harus menerima baptisan, dan betapakah susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung! Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan. Karena mulai dari sekarang akan ada pertentangan antara lima orang di dalam satu rumah, tiga melawan dua dan dua melawan tiga. Mereka akan saling bertentangan, ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya.”

***

Ketika mendengar kata “damai”, pikiran kita langsung tertuju pada ketenangan, kerukunan, dan tidak adanya konflik. Kita pun mengenal Yesus sebagai Raja Damai yang lahir membawa kabar baik bagi dunia. Namun, hari ini kita mendengar perkataan Yesus yang mengejutkan, “Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan.” Yesus seakan-akan justru membalikkan apa yang kita pahami. Sebelumnya, Ia bahkan berkata, “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala!”

Ucapan Yesus ini muncul dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem, menjelang penderitaan dan salib. Ada tiga hal penting di balik perkataan-Nya itu. Pertana, api dalam ajaran Yesus melambangkan penghakiman dan pemurnian. Dalam Perjanjian Lama, api sering dipakai sebagai lambang kuasa Allah yang menguji dan menyucikan umat-Nya (Mal. 3:2-3; Yes. 66:15-16). Kehadiran Yesus di dunia berarti tibanya waktu penghakiman. Iman yang sejati akan nyata, sedangkan kepalsuan akan terbakar habis. Api itu bukan simbol kehancuran, melainkan sarana penyucian agar manusia hidup dalam kebenaran.

Kedua, ketika Yesus berbicara tentang baptisan, Ia menunjuk pada penderitaan salib yang harus Ia hadapi. Baptisan itu adalah penyerahan diri-Nya sepenuhnya demi misi penyelamatan umat manusia. Karena itulah Yesus berkata bahwa hati-Nya susah sampai semua itu digenapi. Penderitaan ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari rencana Allah yang mendatangkan keselamatan.

Ketiga, kehadiran Yesus membawa pertentangan sebagai konsekuensi Injil. Banyak orang Yahudi abad pertama berharap Mesias datang untuk membawa perdamaian politis dan membebaskan Israel dari penjajahan Romawi. Namun, Yesus menegaskan bahwa kedatangan-Nya justru menghadirkan pilihan yang memecah belah, antara menerima atau menolak Dia. Di dalam keluarga sendiri bahkan bisa muncul perpecahan karena keputusan mengikut Kristus.

Karena itu, iman kepada Kristus selalu menuntut pilihan yang tegas. Injil bukan hanya pesan damai yang nyaman, melainkan juga panggilan untuk berani mengambil sikap. Kesetiaan kepada Kristus bisa membuat kita berbeda dengan orang lain, bahkan menimbulkan konflik dengan orang terdekat. Mengikut Kristus juga tidak selalu berarti berjalan di jalan yang mudah. Sama seperti Yesus melewati baptisan penderitaan, murid-murid-Nya pun harus siap menghadapi tantangan, penolakan, dan konflik demi kebenaran.

Meski demikian, api Kristus adalah api pemurnian, bukan penghancuran. Api itu membakar dosa, menguji kesetiaan, dan menyalakan semangat baru dalam diri kita. Sebagai murid, kita dipanggil untuk hidup murni, berani, dan setia, meskipun dunia tidak selalu mendukung pilihan kita. Dengan demikian, hidup kita menjadi saksi bahwa penghakiman Allah justru membawa keselamatan bagi kita.

Yesus datang bukan untuk memberi damai yang semu, melainkan damai yang sejati, damai yang hanya bisa dirasakan setelah hati dimurnikan oleh api kasih dan kebenaran-Nya. Pertentangan mungkin akan kita alami, bahkan di tengah keluarga sendiri. Namun, jangan takut, api Kristus yang bekerja dalam hidup kita bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk memurnikan dan meneguhkan kita.