“Pay It Forward”

Senin, 3 November 2025 – Hari Biasa Pekan XXXI

30

Lukas 14:12-14

Dan Yesus berkata juga kepada orang yang mengundang Dia: “Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasnya. Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”

***

Balas budi atau balas jasa merupakan satu ajaran yang ditanamkan kepada kita sejak kita masih kecil. Anak-anak sering kali diingatkan, “Jangan lupa akan kebaikan orang tua dan berbakti.” Begitu pun lingkungan sosial dan dunia relasi yang dibangun manusia umumnya lekat dengan konsep balas jasa ini. Jika kita menerima kebaikan, kita harus ingat untuk membalas kebaikan itu. Bahkan ada orang-orang yang kemudian memutarbalikkan konsep itu menjadi, “Jika aku memberi, maka aku akan menerima.” Ini lalu menjadi motivasi bagi mereka untuk gemar berderma karena mengharapkan balasan demi kesejahteraan hidup mereka.

Penginjil Lukas hari ini berbagi kisah menarik tentang ajaran yang bertolak belakang dengan pandangan umum. Yesus mengabaikan ajaran dan aturan balas jasa. Bukan hanya itu, Yesus bahkan menentangnya. “Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasnya.” Apa sebenarnya makna dan tujuan di balik larangan ini?

Pertama, kebaikan menjadi kurang nilai dan bobotnya. Pemberian atas dasar relasi tidak didasari oleh oleh sesuatu yang krusial, yaitu kebutuhan. Yesus menyarankan, jika kita ingin menjamu, sasarlah orang yang miskin, cacat, lumpuh, dan buta. Kelompok ini jelas adalah orang-orang yang paling membutuhkan, bukan hanya makanan fisik, melainkan juga makanan mental dan spiritual, yakni kasih sayang, perhatian, kebahagiaan, dan sebagainya. Dengan mengundang mereka, kita memenuhi kebutuhan mereka, dan kebaikan yang kita alirkan itu menjadi sungguh bernilai.

Kedua, kebaikan sepatutnya diberikan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa, sehingga mereka tidak mampu membalasnya kembali. Konsep ini sangat penting: Yesus ingin agar kita memberi bukan karena mengharapkan balasan. Ini memang sesuatu yang sulit, apalagi kita hidup di dunia yang selalu menerapkan perhitungan angka, menimbang berat-ringan dan besar-kecil, dunia serba statistik yang tidak pernah lupa akan aspek untung-rugi. Kita hidup di dunia materialistis yang selalu disibukkan dengan pengejaran kenikmatan, status, dan keuntungan.  Meskipun demikian, memberi tanpa pamrih bukanlah sesuatu yang mustahil.

Kalau kita hanya berfokus melakukan kebaikan tanpa pilih-pilih, dengan konsep: tebar, lupakan, dan tebarkan lagi, wajah dunia akan berubah. Kebaikan akan terus mengalir tanpa perlu berbalik arah. Ketika itu terus-menerus terjadi, kita akan melihat gelombang kebaikan di mana-mana. Konsep akan berubah dari pay me back menjadi pay it forward. Sama seperti yang dilakukan Allah sendiri terhadap manusia. Allah, sumber kebaikan, mengalirkan kebaikan-Nya kepada kita, namun tidak berharap kebaikan itu kembali kepada-Nya.

Tidak perlu mencemaskan upah atau balasan yang akan kita terima, sebab mengenai hal ini, Tuhan telah berjanji, “Engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”