Kita dan Tuhan Saling Menantikan

Selasa, 9 Desember 2025 – Hari Biasa Pekan II Adven

23

Matius 18:12-14

“Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu? Dan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas yang seekor itu daripada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat. Demikian juga Bapamu yang di surga tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang.”

***

Suatu hari, ketika saya sedang berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan, tiba-tiba terdengar pengumuman tentang ditemukannya seorang anak perempuan yang terpisah dari orang tuanya. Saya lihat anak itu sedang bersama dengan seorang petugas keamanan. Matanya sembab, tangannya gemetar, dan wajahnya tampak ketakutan. Tidak lama sesudah itu, tampak seorang ibu dengan panik berlari-lari mendatanginya. Rupanya dia adalah ibu dari anak tersebut. Ibu itu langsung memeluk anaknya erat-erat, seolah-olah tidak mau melepaskannya lagi. Saya memperhatikan sekeliling. Ada yang tersenyum lega, ada yang bertepuk tangan kecil, ada pula yang terharu. Tidak seorang pun bertanya, “Kok bisa hilang?” atau berkomentar “Itu salah ibunya.” Yang ada hanyalah sukacita karena anak itu dapat bertemu kembali dengan ibunya.

Bacaan Injil hari ini mengisahkan tentang perumpamaan tentang domba yang hilang, yang mengundang kita untuk merenung dan masuk dalam kisah tersebut. Kita semua adalah anak-anak Allah yang dikehendaki, dicintai, dan dipilih oleh-Nya. Namun, seperti anak kecil tadi, kita pun bisa tersesat, bukan karena sengaja ingin meninggalkan Tuhan, tetapi karena “keramaian” dunia yang membuat kita kehilangan arah. Kita kadang tersesat bukan karena berbuat dosa besar, melainkan karena langkah kecil yang secara perlahan membuat kita menjauh dari suara Tuhan. Namun, Allah tidak pernah berhenti mencari kita. Ia berjalan menyusuri jalan-jalan yang kita lalui, memanggil nama kita dan menjemput kita kembali, tanpa kemarahan, tetapi dengan kerinduan.

Kita selalu diundang untuk jujur pada diri kita sendiri: Di bagian mana dalam hidup kita di mana kita mulai tersesat? Apakah kita sedang berada “keramaian” dunia yang membuat suara Tuhan tidak lagi terdengar? Apakah kita masih memberi ruang untuk didatangi dan dipeluk oleh-Nya terutama pada Masa Adven ini? Pertobatan bukanlah tanda kelemahan, melainkan tindakan berani dari seorang yang mau mengakui bahwa dirinya membutuhkan Tuhan. Justru pada saat itulah sukacita surgawi akan terjadi: Allah bersukacita karena kita kembali, bukan karena kita sempurna.

Masa Adven bukan hanya masa bagi kita untuk menantikan kedatangan Tuhan, tetapi juga merupakan masa ketika Tuhan menanti kita kembali kepada-Nya. Selamat melanjutkan refleksi Adven.