Kita Adalah Saudara

Selasa, 18 Maret 2025 – Hari Biasa Pekan II Prapaskah

111

Yesaya 1:10, 16-20

Dengarlah firman TUHAN, hai pemimpin-pemimpin, manusia Sodom! Perhatikanlah pengajaran Allah kita, hai rakyat, manusia Gomora!

“Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! Marilah, baiklah kita beperkara! — firman TUHAN — Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba. Jika kamu menurut dan mau mendengar, maka kamu akan memakan hasil baik dari negeri itu. Tetapi jika kamu melawan dan memberontak, maka kamu akan dimakan oleh pedang.” Sungguh, TUHAN yang mengucapkannya.

***

Saudara-saudari yang terkasih, Aristoteles, seorang bijaksana yang hidup ratusan tahun sebelum Kristus, mengatakan bahwa saudara sejati bukanlah mereka yang lahir dari rahim yang sama, melainkan mereka yang mampu berbagi nilai, tujuan, dan saling menjaga dalam suka dan duka. Pemikiran ini sejalan dengan ajaran Santo Agustinus yang menekankan bahwa persaudaraan sejati terjalin dalam kasih Tuhan, bukan sekadar kedekatan fisik atau emosional. Persaudaraan dalam Kristus adalah panggilan untuk saling mengasihi, saling mengampuni, dan saling menolong tanpa pamrih. Selanjutnya, Santo Fransiskus dari Assisi juga mengajarkan tentang persaudaraan universal, yakni bahwa semua ciptaan adalah saudara karena berasal dan diciptakan oleh Allah yang sama.

Melalui Nabi Yesaya, Tuhan mengingatkan kita bagaimana cara berlaku sebagai saudara. Pertama, berhenti berbuat jahat. Di dalam diri manusia ada kecenderungan untuk berbuat dosa, disebut juga konkupisensi. Konkupisensi bukanlah dosa itu sendiri, melainkan kecenderungan atau godaan untuk berdosa. Karena adanya kecenderungan berbuat dosa, setiap orang harus terus berjuang melawan godaan yang akan merusak persaudaraan. Seorang tokoh pernah berkata, “Teruslah berbuat baik sampai keburukan lelah mencobai engkau.” Berbuat baik bukanlah hal yang mudah. Semakin orang berbuat baik, semakin ia akan menghadapi keburukan. Namun, kita harus terus berbuat baik hingga akhirnya keburukan itu sendiri menyerah karena tidak mampu menggoyahkan prinsip dan keteguhan hati kita.

Cara kedua untuk mewujudkan persaudaraan adalah berlajar berbuat baik dengan mengusahakan keadilan, mengendalikan orang kejam, membela hak anak yatim, dan memperjuangkan perkara para janda. Tidak jarang kita tak acuh terhadap penderitaan dan kesulitan sesama. Misalnya, kita membiarkan orang tua, pasangan, atau teman bekerja tanpa pertolongan, padahal kita tahu bahwa mereka kesulitan. Tidak jarang pula kita tak acuh terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita karena takut repot. Kita bahkan kadang tidak berani mengakui kesalahan kita yang dituduhkan kepada orang lain. Demi harga diri, kita membiarkan orang lain menanggung kesalahan kita. Sikap yang demikian tidak ada bedanya dengan sikap orang Farisi yang sangat dikecam Yesus.

Saudara-saudari yang terkasih, menjadi saudara bagi yang lain memang bukan hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa. Panggilan kita hari ini adalah menjadi saudara bagi sesama kita, sebab Kristus sudah rela menjadi saudara sulung bagi kita. Sebagai saudara sulung, Ia menuntun kita kepada jalan menuju keselamatan. Semoga kita juga bisa menjadi saudara bagi yang lain. Amin.