
Yohanes 6:52-59
Orang-orang Yahudi bertengkar antara sesama mereka dan berkata: “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan.” Maka kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun dari surga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.”
Semuanya ini dikatakan Yesus di Kapernaum ketika Ia mengajar di rumah ibadat.
***
Sekilas, bacaan pertama dan bacaan Injil hari ini seperti dua kisah yang sangat berbeda. Yang satu adalah kisah pertobatan Saulus, seorang penganiaya umat Kristen, sedangkan yang lain adalah pernyataan Yesus tentang diri-Nya sebagai Roti Hidup yang memberi hidup kekal kepada siapa saja yang datang kepada-Nya. Namun, bila kita renungkan lebih dalam, kedua bacaan ini berbicara tentang hal yang sama, yakni tentang Allah yang datang mencari kita, Allah yang mengubah hati, dan Allah yang memberikan diri sepenuhnya agar kita diselamatkan.
Saulus bukan orang sembarangan. Ia dikenal sebagai penganiaya yang gigih. Nama dan reputasinya menimbulkan ketakutan di mana-mana. Namun, justru dia yang dipilih oleh Kristus untuk menjadi alat pewartaan Injil bagi banyak bangsa. Ini bukan karena dia layak, tetapi karena Allah mampu mengubah siapa saja. Allah tidak menunggu Saulus sadar dan bertobat terlebih dahulu. Justru di tengah kesesatan Saulus, Kristus menyapanya dengan terang, memanggilnya dengan suara, dan memberinya misi yang baru.
Mendengar kisah pertobatan itu, mungkin kita berpikir, “Kalau saja kita mengalami panggilan seperti itu, kita pasti akan berubah juga.” Ada terang dari langit, terdengar suara dari Tuhan, dan pemberian arahan yang jelas. Mudah, bukan? Meskipun demikian, bukankah kita pun diberi terang, suara, dan arah yang sama jelasnya, yaitu melalui Ekaristi? Setiap kali kita datang ke altar, setiap kali kita mendengarkan sabda, dan setiap kali kita menyambut tubuh Kristus, di situlah terang dari Allah menyapa kita, suara Allah berbicara kepada hati kita, dan arahan diberikan-Nya kepada kita.
Ekaristi bukan hanya kenangan akan pengurbanan Yesus. Ekaristi adalah undangan untuk mengalami pertobatan sejati; untuk menjadi murid, bukan hanya pengagum; untuk berubah, bukan hanya bertahan; untuk memberikan diri, seperti Kristus memberikan diri-Nya. Kita tidak perlu mencari-cari pengalaman spektakuler seperti Saulus. Yang kita butuhkan adalah hati yang terbuka, hati yang mau mendengar bisikan lembut Roh Kudus, hati yang mau percaya bahwa Allah memanggil kita sekarang juga.
Mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing: Apakah kita percaya bahwa Tuhan memanggil kita dalam keadaan kita sekarang ini? Apakah kita membiarkan hidup kita diubah melalui sabda-Nya, melalui Ekaristi, dan melalui sesama, seperti Saulus yang diubah menjadi pewarta Kristus?
Semoga perjumpaan kita dengan Kristus hari ini dalam sabda dan sakramen menjadi momen pertobatan dan perubahan. Semoga kita pun, seperti Saulus, berani bangkit, menjawab panggilan, dan menjadi murid Kristus yang setia.