Bercakap-cakap dengan Yesus yang Tersalib

Minggu, 14 September 2025 – Pesta Pemuliaan Salib Suci

11

Yohanes 3:13-17

“Tidak ada seorang pun yang telah naik ke surga, selain dari Dia yang telah turun dari surga, yaitu Anak Manusia.

Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.”

***

Menurut kita, apakah salib itu? Pertanyaan ini mungkin mudah, namun juga bisa merupakan pertanyaan yang sulit untuk kita jawab. Beberapa waktu lalu, saya memberikan retret untuk beberapa suster. Ada salah satu suster yang selalu membawa salib di sakunya. Lalu, saya bertanya kepadanya, “Mengapa suster selalu membawa salib di saku?” Suster ini menjawab dengan sederhana, bahwa salib merupakan kekuatannya. Tanpa salib, dia bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Salib membuatnya kuat dalam melayani, dalam menjalankan panggilan, dan juga membuatnya tenang.

Pada hari ini, saya juga hendak mengajukan pertanyaan yang sama kepada kita semua: Bagaimana kita memaknai salib untuk diri kita? Tentu, yang diharapkan bukan sekadar jawaban dari pikiran, melainkan jawaban dari sebuah kesadaran yang melibatkan hati, pikiran, dan tindakan kita.

Pernahkah kita memandang salib dan bertanya, “Tuhan Yesus, mengapa Engkau rela disalibkan?” Kalau kita melakukan itu, kita membuka sebuah dialog dan bercakap-cakap dengan Yesus sendiri. Dalam tradisi Ignatian, St. Ignatius melalui Latihan Rohani selalu mengajak orang untuk masuk ke dalam sebuah dialog dengan pribadi Yesus. Dialog ini adalah tindakan dua arah antara diri orang itu dan Tuhan.

Sebagai seorang Yesuit, saya pun melakukan percakapan itu di dalam doa. Saya berkontemplasi di depan salib, berdialog dengan Yesus tersalib, dan bertanya kepada-Nya mengapa Ia rela disalibkan. Jawaban-Nya sederhana, tetapi sungguh membuat saya meneteskan air mata, “Advent, Aku melakukan ini karena Aku mencintaimu.” Air mata saya keluar dengan tiba-tiba, perasaan saya pun menjadi campur aduk: Yesus secara personal melakukan itu untuk saya yang berdosa! Kemudian, Yesus juga mengatakan, “Jangan takut. Lakukan juga untuk yang lain seperti yang Aku lakukan untukmu.”

Salib menjadi sebuah kisah pengalaman iman yang personal. Kita jangan hanya menaruh salib tanpa sebuah pengalaman iman. Di dalam salib, ada kasih, namun juga ada ajakan untuk turut ambil bagian dalam pengalaman-Nya. Kita tentu berbahagia karena sudah diselamatkan, tetapi kita juga wajib menjadi penyelamat bagi yang lain seperti yang telah dilakukan Yesus kepada kita.

Saudara-saudari, apa makna salib bagi Anda? Jadikanlah salib lebih bermakna dengan melihat itu dari pengalaman iman Anda. Punyakah Anda pengalaman iman atas salib?