Kolaborasi Apik dalam Iman

Sabtu, 20 September 2025 – Peringatan Wajib Santo Andreas Kim Taegon, Paulus Chong Hasang, dan Kawan-kawan

29

Lukas 8:4-15

Ketika orang banyak berbondong-bondong datang, yaitu orang-orang yang dari kota ke kota menggabungkan diri pada Yesus, berkatalah Ia dalam suatu perumpamaan: “Adalah seorang penabur keluar untuk menaburkan benihnya. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu diinjak orang dan burung-burung di udara memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, dan setelah tumbuh ia menjadi kering karena tidak mendapat air. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, dan semak itu tumbuh bersama-sama dan mengimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik, dan setelah tumbuh berbuah seratus kali lipat.” Setelah berkata demikian Yesus berseru: “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!”

Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya, apa maksud perumpamaan itu. Lalu Ia menjawab: “Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang lain hal itu diberitakan dalam perumpamaan, supaya sekalipun memandang, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti. Inilah arti perumpamaan itu: Benih itu ialah firman Allah. Yang jatuh di pinggir jalan itu ialah orang yang telah mendengarnya; kemudian datanglah Iblis lalu mengambil firman itu dari dalam hati mereka, supaya mereka jangan percaya dan diselamatkan. Yang jatuh di tanah yang berbatu-batu itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu tidak berakar, mereka percaya sebentar saja dan dalam masa pencobaan mereka murtad. Yang jatuh dalam semak duri ialah orang yang telah mendengar firman itu, dan dalam pertumbuhan selanjutnya mereka terimpit oleh kekhawatiran dan kekayaan dan kenikmatan hidup, sehingga mereka tidak menghasilkan buah yang matang. Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan.”

***

“Kita telah menerima Sakramen Baptis, masuk dalam pelukan Gereja, serta menerima kehormatan disebut sebagai umat kristiani. Akan tetapi, apa gunanya semua itu jika kita hanya Kristen dalam nama dan tidak dalam kenyataan?” (St. Andreas Kim Taegon).

Kisah iman dan kemartiran St. Andreas Kim Taegon, Paulus Chong Hasang, dan kawan-kawan adalah cermin bagi kita dalam mengamalkan iman, serta dalam perpaduan kolaborasi iman antara imam dan awam. St. Andreas Kim Taegon adalah seorang imam, sedangkan St. Paulus Chong Hasang adalah seorang awam. Kedua martir ini mewakili 113 umat Katolik yang wafat sebagai martir karena iman mereka di Korea. Mereka dinyatakan kudus oleh Paus Yohanes Paulus II pada saat Bapa Suci mengunjungi Korea pada tahun 1984.

Para martir tersebut menggambarkan kemuliaan serta keberanian umat Katolik Korea yang rela membayar mahal cinta mereka kepada Kristus. St. Andreas Kim Taegon adalah imam pertama Korea. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 16 September 1846, hanya satu tahun setelah ditahbiskan. Ayahnya telah mendahului menjadi martir pada tahun 1821. Sejalan dengan itu, St. Paulus Chong Hasang adalah seorang katekis awam yang pemberani. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 22 September 1846. Sekarang Gereja berkembang pesat di Korea. Kurban persembahan para martir telah menjadi pembuka jalan dianugerahkannya karunia iman bagi seluruh bangsa.

Kemartiran di Korea tersebut merupakan cermin bagi kita dalam hidup menggereja. Imam dan awam harus bersama-sama berjalan menuju kesucian dalam iman. Iman harus diwartakan dengan keteguhan dan kesungguhan, seperti yang dinyatakan dalam bacaan Injil hari ini: “Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan.”

Iman St. Andreas Kim Taegon, Paulus Chong Hasang, dan kawan-kawan membuahkan iman yang besar di Korea. Demikianlah iman yang dijalankan dengan penuh ketekunan pasti akan berbuah dengan subur. Mereka menjalankan iman bukan dengan berteori, melainkan dengan sungguh melakukannya dalam tindakan nyata. Apakah kita menjalankan iman Katolik kita seperti mereka? Ataukah kita sekadar bangga menjadi orang Katolik, tetapi tidak melakukan tindakan apa-apa?