
Lukas 17:5-10
Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: “Tambahkanlah iman kami!” Jawab Tuhan: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.”
“Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”
***
Yesus sedang mengajar murid-murid-Nya untuk menjadi pemimpin Gereja yang rendah hati. Pada perumpamaan tentang tuan dan hamba, dikisahkan tentang hamba yang kembali dari membajak dan menggembala. “Membajak” merupakan sebuah metafora untuk “penginjilan”, sedangkan “gembala” umumnya merujuk pada “imam”.
Yesus mengajarkan bahwa sebagai pemimpin Gereja, seseorang sekaligus menjadi tuan dan hamba. Ketika menjadi tuan, seorang pemimpin diharapkan menjadi pribadi yang rendah hati, yang menghargai jerih lelah hambanya. Pada saat yang sama, sebagai seorang hamba, pemimpin Gereja harus melayani dengan rendah hati tanpa menuntut imbalan. Allah nantinya yang akan mengganjar pekerjaan mereka dengan kasih karunia-Nya.
Pemimpin Gereja adalah juga pembajak dan penggembala sekaligus. Hidupnya adalah pewartaan kabar gembira. Sekaligus dengan itu, mereka memiliki tanggung jawab menjadi imam untuk mengajar dan memimpin umat. Tugas menjadi pewarta dan imam ini harus dijalankan dengan rendah hati. Kerendahan hati dengan demikian menjadi kualitas yang ditekankan Yesus untuk dimiliki oleh seorang pemimpin Gereja.
Gereja Indonesia memiliki sosok Romo Mangun (Rm. Y.B. Mangunwijaya Pr) yang kiranya dapat menjadi contoh sosok pemimpin Gereja yang rendah hati. Suatu kali, Romo Mangun menolak menerima undangan untuk berjumpa dengan seorang dari kalangan pejabat. Hal ini karena pada saat yang bersamaan ada salah seorang tetangganya dari perkampungan sekitar Wisma Kuwera yang bermaksud datang untuk main ke rumahnya. Ketika berjumpa dengan tetangga tersebut, ia lebih banyak mendengarkan cerita-cerita sederhana dan menanggapi seperlunya. Tidak ada konsep-konsep teologi yang rumit yang keluar dari mulutnya. Romo Mangun hanya hadir bersama sang tetangga untuk mendengarkan dan menemani.
Romo Mangun menjadi contoh pemimpin Gereja yang rendah hati yang dimaksudkan Yesus, pemimpin yang hadir dan menemani umat. Dari kehadiran inilah, seorang pemimpin menjadikan pribadinya kabar gembira. Ia mewartakan iman melalui kehadirannya. Semoga Gereja mendapat semakin banyak pemimpin yang rendah hati.