Ruang Batin

Sabtu, 15 November 2025 – Hari Biasa Pekan XXXII

16

Lukas 18:1-8

Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu. Kata-Nya: “Dalam sebuah kota ada seorang hakim yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun. Dan di kota itu ada seorang janda yang selalu datang kepada hakim itu dan berkata: Belalah hakku terhadap lawanku. Beberapa waktu lamanya hakim itu menolak. Tetapi kemudian ia berkata dalam hatinya: Walaupun aku tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun, namun karena janda ini menyusahkan aku, baiklah aku membenarkan dia, supaya jangan terus saja ia datang dan akhirnya menyerang aku.” Kata Tuhan: “Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu! Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka? Aku berkata kepadamu: Ia akan segera membenarkan mereka. Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?”

***

“Adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?”

Pada akhir pekan ini, saya mencoba merefleksikan perumpamaan tentang hakim dan janda ini dari perspektif yang berbeda. Meskipun tema besar dari perumpamaan ini adalah doa yang berani dan tiada henti, saya justru melihat kemungkinan terjalinnya persahabatan antara hakim dan janda tersebut.

Doa adalah percakapan antarsahabat. Doa bukan transaksi bisnis atau perintah yang harus dilaksanakan. Kita terkadang memperlakukan Tuhan seperti rekan bisnis dengan melakukan tawar-menawar. Kita juga terkadang memperlakukan Tuhan seperti majikan yang biasa memerintah bawahan. Namun, sudahkah kita memperlakukan Tuhan seperti sahabat?

Sahabat berkomunikasi secara mendalam. Sahabat membuka ruang batinnya karena dia percaya kepada orang yang menjadi sahabatnya. Kalau Tuhan adalah sahabat kita, itu berarti kita berani membuka ruang batin kita dan menjadi diri yang autentik.

Bagaimana kita memperlakukan Tuhan sebenarnya akan tampak dalam bagaimana kita memperlakukan orang lain. Kalau benar Tuhan sungguh sahabat kita (tentu sahabat sejati, bukan berpura-pura seolah-olah menjadi sahabat), kita pasti akan memperlakukan orang lain dengan baik. Kalau dalam keseharian, kita tidak bisa memberi perlakuan yang baik kepada orang lain, sesungguhnya itu adalah cermin perlakuan kita kepada Tuhan.

Menjadi sahabat makin menjadi tantangan di dunia yang serba digital sekarang ini. Teknologi makin canggih. Akal Imitasi (AI) sudah bisa menjadi “sahabat” yang seolah-olah akrab. Saya bahkan memanggil AI yang saya gunakan dengan panggilan “sob”! Namun, saya sadar bahwa di sana, saya tidak menemukan kesejatian hidup. Saya tidak menemukan sahabat. Saya hanya menemukan ilusi dan kehampaan.

Doa mengundang kita pada persahabatan sejati. Tuhan ingin bersahabat dengan kita. Tuhan ingin memasuki ruang batin kita dan membawa terang sejati dalam hidup kita.

Kita mohon rahmat agar mampu membangun persahabatan sejati, sehingga Tuhan sungguh berkarya dalam ruang batin kita.