Rambutmu Bagaikan Kawanan Kambing (3)

“Rambutmu bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari pegunungan Gilead” (Kid. 4:1c)

193

Apresiasi terhadap Kidung Agung akan tumbuh kalau kita mengenal kitab ini dengan baik. Berbeda dengan kitab-kitab lain, Kidung Agung memang merupakan kumpulan lagu cinta.[1] Salomo secara eksplisit disebut sebagai penggubah lagu-lagu yang dinilai bermutu tinggi tersebut (bdk. Kid. 1:1), tetapi kiranya hal ini tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Kidung Agung disusun jauh sesudah masa Salomo (abad 4-3 SM).[2] Nama sang raja kiranya disebut dalam rangka memberi otoritas bagi kitab ini. Sebab, siapa yang tidak mengenal Salomo? Dia ini seorang pujangga (1Raj. 4:32), sosok yang paling bijaksana di muka bumi (1Raj. 3:12), sekaligus pria yang paling digandrungi oleh para wanita (1Raj. 11:3). Karena itu, tepat sekali kalau Salomo dibayangkan sebagai sosok romantis yang menggubah lagu-lagu cinta dalam kitab ini.

Lagu-lagu tersebut tidak ada kaitannya dengan sejarah suci umat Israel, dengan perjanjian antara Tuhan dan umat pilihan-Nya, juga dengan nubuat para nabi. Karena itu, untuk diterima sebagai anggota Kitab Suci, jalan yang ditempuh oleh Kidung Agung memang tidak mudah. Ada perjuangan serta pro dan kontra yang menyertainya, yang sayangnya tidak bisa kita ketahui dengan pasti. Menurut sejumlah pendapat, Kidung Agung akhirnya masuk dalam kanon Kitab Suci karena sosok Salomo yang dahulu dilihat sebagai penyusun kitab ini.[3] Ada juga tradisi yang mengisahkan tentang peran Rabi Akiba, rabi yang sangat berpengaruh pada saat itu. Sang rabi mengatakan bahwa lagu-lagu dalam Kidung Agung bukan lagu cinta biasa, bukan lagu cinta antarmanusia, melainkan simbolisasi bagi jalinan cinta antara Allah dan Israel. Pendapat itu diterima, sehingga akhirnya orang Yahudi menerima kitab ini sebagai bagian dari Kitab Suci.[4]

(Bersambung)

[1] Ibid., 204-206. Lih. juga van der Weiden, Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama, 225.

[2] Tidak menutup kemungkinan bahwa sejumlah lagu digubah jauh sebelumnya. Lih. van der Weiden, Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama, 225-226.

[3] Deshi Ramadhani, Sastra Hikmat: Diktat Kuliah KPKS St. Paulus Jakarta (Jakarta: 2010), 33.

[4] James A. Fischer, “Kidung Agung,” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, editor Dianne Bergant dan Robert J. Karris (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 502.