Berbuat Baik Setiap Waktu

Senin, 10 September 2018 – Hari Biasa Pekan XXIII

190

Lukas 6:6-11

Pada suatu hari Sabat lain, Yesus masuk ke rumah ibadat, lalu mengajar. Di situ ada seorang yang mati tangan kanannya. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang pada hari Sabat, supaya mereka dapat alasan untuk mempersalahkan Dia. Tetapi Ia mengetahui pikiran mereka, lalu berkata kepada orang yang mati tangannya itu: “Bangunlah dan berdirilah di tengah!” Maka bangunlah orang itu dan berdiri. Lalu Yesus berkata kepada mereka: “Aku bertanya kepada kamu: Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?” Sesudah itu Ia memandang keliling kepada mereka semua, lalu berkata kepada orang sakit itu: “Ulurkanlah tanganmu!” Orang itu berbuat demikian dan sembuhlah tangannya. Maka meluaplah amarah mereka, lalu mereka berunding, apakah yang akan mereka lakukan terhadap Yesus.

***

Kontroversi mengenai penyembuhan pada hari Sabat kembali dibahas dalam bacaan Injil hari ini. Yesus dan lawan-lawan-Nya lagi-lagi berbeda pendapat tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat. Fokus perikop ini sayangnya bukan si sakit yang mengalami mukjizat penyembuhan, melainkan ahli-ahli Taurat dan orang Farisi yang digambarkan sangat memusuhi Yesus.

Pada suatu hari Sabat, Yesus mengajar di rumah ibadat. Di situ hadir pula ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. Kehadiran orang-orang ini ternyata tidak dengan maksud baik. Yesus sudah beberapa kali melanggar hukum Sabat dan mereka tidak menyukai hal itu. Karenanya mereka secara khusus hadir di rumah ibadat itu untuk mengamat-amati kalau-kalau Yesus kembali melakukan pelanggaran yang sama. Sikap ini sungguh sangat menyedihkan. Bukankah aneh bahwa orang berhimpun di rumah ibadat tetapi tidak berniat untuk beribadat? Bukankah aneh bahwa orang datang ke rumah ibadat tetapi dengan hati yang penuh kebencian?

Tak disangka-sangka, Yesus yang mengetahui niat buruk orang-orang itu justru melakukan apa yang mereka harapkan. Ketika Yesus melihat bahwa di situ ada seorang yang lumpuh tangan kanannya, dengan segera Ia tergerak untuk memulihkan keadaan orang itu. Diminta-Nya orang itu untuk mengulurkan tangannya, dan seketika itu juga ia pun sembuh.

Yang menarik, sebelum mengadakan mukjizat penyembuhan, Yesus mengajukan pertanyaan kepada lawan-lawan-Nya, “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?” Pertanyaan ini tidak sanggup mereka jawab, sebab jawaban apa pun yang mereka berikan akan membuat mereka tersudut.

Yang dimaui orang-orang itu hanya satu. Hukum Taurat menyatakan bahwa pada hari Sabat orang tidak boleh beraktivitas. Patuhi saja ketentuan itu apa pun yang terjadi. Mereka tidak peduli bahwa Yesus melakukan hal yang baik, sebab pada hari Sabat, Ia memulihkan kehidupan orang-orang yang menderita. Yesus berprinsip bahwa karya keselamatan Allah harus berlangsung tiada henti, bahwa perbuatan baik harus dilakukan setiap waktu, tidak kenal hari libur. Bukankah aneh kalau keselamatan Allah justru tidak terjadi pada hari Sabat, hari yang dipandang paling penting dan paling suci dibandingkan hari-hari yang lain?

Kemurahan Yesus dengan demikian kontras dengan kebencian yang ada di hati ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. Jadi, perbuatan mana yang baik: Yesus yang menyembuhkan orang pada hari Sabat, atau ahli-ahli Taurat dan orang Farisi yang menyebarkan sikap permusuhan pada hari Sabat?