Kebahagiaan Sejati

Senin, 7 Juni 2021 – Hari Biasa Pekan X

142

Matius 5:1-12

Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.”

***

Siapa di antara kita yang ingin hidup miskin, berdukacita, lapar dan haus, dicela, serta dianiaya? Saya yakin tidak banyak, bahkan mungkin tidak ada orang yang mau hidup demikian. Lebih lagi pada zaman sekarang, di mana banyak orang berlomba-lomba mengejar kekayaan, kemakmuran, popularitas, serta kedudukan atau status atau karier yang tinggi. Demi memperoleh semuanya itu, tidak jarang orang bahkan sampai menghalalkan segala cara. Betapa sering kita menjumpai berita-berita di media massa tentang para pejabat yang melakukan korupsi, tentang orang kaya yang masih saja memeras dan merampas hak orang miskin, juga tentang orang yang sudah berpenghasilan tinggi tetapi masih berambisi untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya agar berkelimpahan sampai tujuh turunan.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus sepertinya hendak melawan arus dari kecenderungan masyarakat tersebut di atas. Alih-alih mengajak orang untuk bekerja keras agar bahagia karena memiliki harta kekayaan yang banyak, Yesus sepertinya malah mengajak kita untuk menjadi miskin, lapar, teraniaya, dan dicela. “Berbahagialah mereka yang miskin … berdukacita … lapar dan haus … dicela … dianiaya…,” demikian yang dikatakan oleh-Nya.

Mari berkenalan dengan Santo Fransiskus Assisi. Lahir tahun 1181/1182, Fransiskus adalah anak seorang saudagar kain yang kaya raya. Waktu kecil, ia adalah sosok yang ceria, suka membantu orang tuanya di toko, dermawan, dan memiliki banyak teman. Waktu remaja, sebagaimana remaja pada umumnya, Fransiskus juga ingin terkenal dan terpandang, sehingga bercita-cita menjadi prajurit dalam perang salib yang masih berkecamuk pada masa itu. Namun, berkat panggilan Tuhan yang tersalib, Fransiskus meninggalkan orang tuanya, melepaskan seluruh hak warisnya, lalu pergi dan tinggal di tengah-tengah orang kusta untuk melayani dan merawat mereka. Ia menjadi pengemis untuk orang-orang kusta yang dilayaninya.

Ayah dan teman-teman menganggap Fransiskus telah kehilangan akal sehatnya. Namun, mereka juga bingung mengapa Fransiskus terlihat jauh lebih berbahagia saat berada di tengah orang kusta daripada ketika berada di rumah ayahnya sendiri yang kaya raya. Banyak teman Fransiskus yang tadinya bingung dan heran dengan pilihan hidupnya justru kemudian mengikuti jejak Fransiskus.

Melalui hidup Fransiskus dan para pengikutnya, kita dapat semakin yakin bahwa apa yang dikatakan Yesus adalah benar. Kebahagiaan tidak terletak pada materi duniawi, tetapi terletak dalam semangat untuk melakukan pelayanan seperti yang ditunjukkan Yesus dalam seluruh hidup-Nya. Santo Fransiskus berbahagia, bukan hanya karena ia kini berada di surga; ia berbahagia sejak hidup pertobatannya di dunia karena boleh mengikuti panggilannya. Semoga kita tidak mendasarkan tujuan dan kebahagiaan hidup kita pada hal-hal duniawi, tetapi senantiasa menjadikan firman Tuhan sebagai dasar hidup dan kebahagiaan kita.