Matius 8:1-4
Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.” Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga tahirlah orang itu dari kustanya. Lalu Yesus berkata kepadanya: “Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka.”
***
Pandemi ini membuat kita akrab dengan pengalaman isolasi. Ketika kita suspect Covid maupun berkontak dengan seorang suspect, kita diwajibkan karantina selama empat belas hari. Ketika diisolasi, kita pasti merasa sendirian dan kesepian. Kita tidak bisa berjumpa dengan keluarga kita.
Pengalaman itu memudahkan kita untuk memahami derita orang sakit kusta di atas. Pada masa Yesus, penyakit kusta dianggap sangat berbahaya dan sebagai kutukan. Orang kusta dipandang najis dan kena kutuk, sehingga harus diisolasi di luar permukiman. Mereka harus menggunakan gelang pada kakinya sebagai tanda supaya mudah dikenali, sehingga orang lain bisa mengambil jarak dari mereka. Hal ini membuat orang kusta tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga secara batin.
Tindakan Yesus menyembuhkan orang kusta itu berisiko. Ia bisa tertular, juga bisa ikut dianggap najis. Yesus mengambil risiko itu dengan sadar karena Ia mengutamakan kesembuhan orang kusta itu. Yesus tahu betul bahwa Ia tidak saja menghilangkan penyakit orang itu, tetapi juga menyembuhkan batinnya, serta mengembalikannya ke dalam keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, Yesus menjamah dan menyembuhkannya. Kemudian Yesus menyuruh orang itu memenuhi ketentuan Taurat agar memperoleh legitimasi atas kesembuhan yang dialaminya.
Tindakan Yesus menyadarkan kita bahwa menolong orang lain sungguh mulia, namun selalu memiliki risiko. Apakah kita berani untuk mengambil risiko tersebut? Ketika risikonya kecil, kita tentunya tidak terlalu takut dalam bertindak. Namun, bagaimana jika risikonya besar, yaitu nyawa sendiri, sebagaimana yang dihadapi oleh para dokter dan perawat selama masa pandemi ini? Apakah kita berani? Hal ini tentu tidak mudah, tetapi tindakan Yesus menginspirasi kita bahwa hidup kita bermakna apabila kita melayani sesama dengan sepenuh hati. Mari kita gunakan hidup kita untuk menolong orang lain.