Mengucap Syukur dalam Segala Hal

Rabu, 10 November 2021 – Peringatan Wajib Santo Leo Agung

104

Lukas 17:11-19

Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Lalu Ia memandang mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir. Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. Lalu Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari orang asing ini?” Lalu Ia berkata kepada orang itu: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”

***

Saat masih kecil, kita pasti diajari orang tua untuk berterima kasih atas kebaikan orang lain kepada kita. Namun, kebiasaan baik yang ditanamkan sejak dini ini ternyata sering kali tidak terus kita laksanakan ketika beranjak dewasa. Mulut kita sering terasa sulit untuk mengucapkan terima kasih kepada orang lain, padahal Allah menghendaki kita untuk selalu mengucap syukur dalam segala hal.

Dalam penerimaan sakramen pengakuan dosa, misalnya. Setelah diberi absolusi oleh imam, kita seharusnya membuat tanda salib, mengucapkan terima kasih kepada bapa pengakuan, lalu mengundurkan diri. Namun, banyak yang melupakan hal itu, sehingga setelah menerima pengampunan, orang nyelonong pergi begitu saja, tanpa sedikit pun mengucapkan terima kasih.

Bacaan Injil hari ini berkisah tentang sepuluh orang kusta yang berteriak-teriak kepada Yesus yang sedang memasuki sebuah desa di perbatasan Samaria dan Galilea. Mereka berteriak-teriak minta disembuhkan. Yesus mengabulkan permohonan itu dengan menyuruh mereka menemui para imam. Dalam perjalanan untuk melaksanakan perintah tersebut ternyata mereka menjadi sembuh. Satu dari kesepuluh orang kusta yang telah disembuhkan itu segera kembali kepada Yesus, tersungkur di depan kaki-Nya, dan mengucap syukur kepada-Nya.

Injil menegaskan bahwa orang itu adalah orang Samaria. Pada zaman Yesus, orang Yahudi tidak akur dengan orang Samaria. Mereka menganggap orang Samaria bukan orang Israel sejati karena telah bercampur dengan bangsa-bangsa asing. Selain itu orang Yahudi menganggap orang Samaria berdosa karena menganggap Gunung Gerizim sebagai tempat suci, bukan Bukit Sion.

Kusta dahulu dipandang sebagai penyakit yang menjijikkan dan membahayakan, sehingga semua orang yang sakit kusta harus dikucilkan dari masyarakat. Disembuhkan dari penyakit ini tentu merupakan anugerah yang sangat besar. Namun, hal itu ternyata tidak menggerakkan kesembilan orang lainnya untuk kembali kepada Yesus.

Kita seharusnya bersyukur dalam segala hal, apalagi kalau kita mendapatkan anugerah yang besar. Apakah kita ingat untuk bersyukur bila di pagi hari bisa bangun dengan badan yang segar karena semalam beristirahat dengan baik? Apakah kita bisa bersyukur dalam segala hal, saat mendapat anugerah dari Tuhan entah besar maupun kecil, juga saat kita mendapat salib atau kesulitan dalam hidup?