Tuli dan Gagap

Jumat, 11 Februari 2022 – Hari Biasa Pekan V

115

Markus 7:31-37

Kemudian Yesus meninggalkan pula daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis. Di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu. Dan sesudah Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu. Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: “Efata!”, artinya: Terbukalah! Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik. Yesus berpesan kepada orang-orang yang ada di situ supaya jangan menceriterakannya kepada siapa pun juga. Tetapi makin dilarang-Nya mereka, makin luas mereka memberitakannya. Mereka takjub dan tercengang dan berkata: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.”

***

Bacaan Injil hari ini menceritakan tentang kisah penyembuhan seorang tuli. Orang tersebut tidak hanya tuli, tetapi juga memiliki gangguan dalam berbicara, yakni gagap. Hampir tidak mungkin bagi orang itu untuk berkomunikasi dengan siapa pun.

Menjadi tuli dan gagap adalah pengalaman yang buruk bagi kehidupan religius dan kehidupan bermasyarakat seorang Yahudi. Untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan religius, seorang Yahudi harus dapat mendengar, khususnya mendengar suara shofar, trompet dari tanduk domba jantan, yang merupakan bagian dari beberapa hari raya penting. Seorang Yahudi juga harus dapat berbicara untuk melafalkan Shema pada waktu-waktu yang ditentukan dalam sehari. Shema itu berbunyi: “Dengarlah, hai Israel, Tuhan Allah kita adalah satu-satunya Tuhan.” Memang sejumlah rabi mengatakan bahwa Shema cukup dilafalkan secara akurat, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Shema harus dilafalkan secara sempurna.

Dalam kehidupan bermasyarakat, di kalangan orang Yahudi ada undang-undang yang menyatakan bahwa seorang yang bisu dan tuli dipandang seperti anak di bawah umur, sehingga orang tersebut tidak memiliki status hukum. Itu sebabnya, orang yang tuli dan gagap itu dibawa kepada Yesus. Tanpa bantuan orang lain, ia tidak bisa datang langsung kepada Yesus karena secara hukum dianggap tidak bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Dari situ, kita bisa melihat betapa menderitanya orang yang tuli dan gagap ini. Dia menderita secara fisik, religius, dan sosial. Kesembuhan yang dia terima dari Yesus adalah anugerah terbesar dalam hidupnya. Karena itu, bisa dimengerti bahwa, kendati dilarang oleh Yesus, orang banyak menceritakan mukjizat itu ke mana-mana.

Di sekeliling kita ada banyak orang yang “tuli dan gagap”, yakni mereka yang tersingkir dari kehidupan religius dan kehidupan bermasyarakat. Orang-orang itu membutuhkan sesama yang mau membebaskan mereka dari isolasi tersebut. Itulah tugas kita. Sebagaimana Yesus hari ini berkata, “Efata!”, kepada orang yang tuli dan gagap itu, kita pun dipanggil untuk melakukan hal yang sama.