Tinggal dalam Firman-Nya

Rabu, 6 April 2022 – Hari Biasa Pekan V Prapaskah

164

Yohanes 8:31-42

Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Jawab mereka: “Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapa pun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu akan merdeka?” Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa. Dan hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah. Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka.”

“Aku tahu, bahwa kamu adalah keturunan Abraham, tetapi kamu berusaha untuk membunuh Aku karena firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu. Apa yang Kulihat pada Bapa, itulah yang Kukatakan, dan demikian juga kamu perbuat tentang apa yang kamu dengar dari bapamu.” Jawab mereka kepada-Nya: “Bapa kami ialah Abraham.” Kata Yesus kepada mereka: “Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku; Aku, seorang yang mengatakan kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak dikerjakan oleh Abraham. Kamu mengerjakan pekerjaan bapamu sendiri.” Jawab mereka: “Kami tidak dilahirkan dari zina. Bapa kami satu, yaitu Allah.” Kata Yesus kepada mereka: “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku.”

***

Bacaan Injil kemarin berakhir bahagia, sebab dikatakan bahwa banyak orang percaya kepada Yesus (Yoh. 8:30). Akan tetapi, kelompok ini perlu pendalaman. Kepercayaan kepada Yesus harus semakin mendalam dan bertahan, sehingga perlu dasar yang kokoh. Apa dasar itu? Yakni dengan tetap atau tinggal dalam firman Yesus.

Ciri khas murid dan pengikut Yesus adalah bertahan dan bertekun dalam ajaran sang Guru. Artinya, mereka setia menerima firman-Nya, meyakini kebenarannya, dan membiarkan firman itu membentuk serta mengubah diri mereka. Hanya dengan itu para murid Yesus dapat mengetahui kebenaran.

Kebenaran adalah misteri Allah sendiri yang diwahyukan dalam diri dan karya Yesus. Sebagai sang Firman, Yesus adalah sang Kebenaran: Hanya Dia yang dapat memperkenalkan Allah kepada manusia. Itulah kebenaran yang memerdekakan manusia. Memerdekakan dari apa? Dari perbudakan dosa! Yesus menegaskan pokok yang penting: Kebebasan manusia dari dosa mengandaikan pengetahuan tentang apa itu kebenaran. Tanpa mengetahui sang Kebenaran, kemerdekaan manusia hanya semu dan sementara belaka.

Tentu saja para pendengar menjadi heran dan salah paham. Dalam Injil Yohanes, kesalahpahaman lawan bicara selalu dipakai Yesus untuk melanjutkan dialog dan memperdalam pemahaman manusia. Orang Yahudi melihat diri mereka sebagai anak-anak Abraham yang merdeka, mungkin karena mereka keturunan Abraham melalui Ishak, anak perjanjian, yang dilahirkan dari Sara, bukan dari Hagar, si hamba.

Akan tetapi, bagi Yesus, klaim seperti itu tidaklah cukup. Iman selalu lebih dari sekadar keturunan. Menjadi keturunan Abraham tidak otomatis membuat mereka merdeka, sebab mereka tetap terbelenggu oleh dosa. Ini adalah pesan yang sangat relevan: Beragama tidak selalu memerdekakan kita dari dosa; rutinitas dan ritual tidak membuat kita selamat. Kita bagaikan hamba yang belum merdeka. Sebaliknya, bersatu dengan Yesus, sang Firman, dan menekuni firman-Nya itulah yang akan menyelamatkan dan membebaskan kita dari dosa. Dialah sang Anak yang sungguh mampu memerdekakan kita dari belenggu dosa.

Yesus juga memberi makna baru tentang “keturunan Abraham”. Menjadi keturunan Abraham berarti melakukan apa yang dilakukan Abraham. Tidak mungkin Abraham berupaya membunuh seseorang yang berbicara tentang kebenaran, seseorang yang memperkenalkan Allah kepada dunia. Seperti Abraham mengakui Allah sebagai Bapanya, mereka seharusnya mengasihi Yesus, sebab Ia berasal dari Allah. Sebaliknya, dengan berupaya membunuh Yesus, terbukti bahwa mereka bukan anak-anak Abraham. Mereka tidak mengimani Allah yang diimani Abraham.

Kasih kepada Yesus menjadi tolok ukur iman tradisional kita. Tanpa kasih itu, kita bagaikan mesin otomatis yang terus saja berteriak, “Kami ini pewaris dan penerus tradisi suci,” tanpa sungguh dimerdekakan oleh pengenalan dan persatuan dengan sang Kebenaran.