Pemimpin Adalah Soal Karakter, Bukan Keturunan

Senin, 7 November 2022 – Hari Biasa Pekan XXXII

114

Lukas 17:1-6

Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, daripada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini. Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.”

Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: “Tambahkanlah iman kami!” Jawab Tuhan: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.”

***

Bacaan pertama hari ini (Tit. 1:1-9) memberi tuntunan tentang pemilihan penatua jemaat. Paulus memberikan nasihat kepada Titus bagaimana memilih mereka. Disampaikannya kriteria karakter seorang penatua, agar hidup mereka bisa menjadi teladan dalam kehidupan jemaat, dan agar seluruh jemaat dibangun dalam karakter yang sama. Seorang penatua, menurut Paulus, haruslah orang yang tak bercacat, mempunyai satu istri, anak-anaknya hidup dalam iman, dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh atau tidak tertib. Selanjutnya, ditambahkan lagi bahwa ia haruslah pribadi yang “tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah, tidak serakah, melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya”. Dalam bacaan Injil, Yesus menghendaki agar karakter-karakter tersebut dimiliki juga oleh para murid-Nya, sambil menambahkan satu hal lagi, yakni agar mereka menjadi pribadi yang pengampun.

Saya pernah mendapatkan informasi bagaimana Kardinal Jorge Mario Bergoglio akhirnya terpilih sebagai paus, yang mana kita sekarang mengenalnya sebagai Paus Fransiskus. Dalam konklaf yang diikuti oleh para kardinal dibicarakan mengenai pertanyaan, “Paus macam apa yang kita butuhkan di zaman ini?” Para kardinal sepakat bahwa yang dibutuhkan adalah paus yang mampu membawa pembaruan dalam Gereja sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II. Pada hari kedua konklaf, Bergoglio pun terpilih. Kriteria karakter pertama-tama diputuskan, kemudian dicarilah orang yang memenuhi kriteria tersebut. Dengan proses demikian, pemimpin tidak dipilih berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan kriteria karakter yang dibutuhkan sesuai dengan konteks zaman.

Kita bersyukur bahwa Paus Fransiskus memang merupakan sosok yang memenuhi kebutuhan zaman. Ia membawa banyak pembaruan dalam Gereja Katolik. Salah satu pembaruan yang dibuatnya adalah mengubah istilah “kongregasi suci” yang selalu dipimpin oleh seorang kardinal menjadi “dikasteri” atau kementerian. Bukan sekadar mengubah istilah, yang dilakukan Paus Fransiskus ini memiliki implikasi yang luas, baik secara mental, spiritual, maupun struktural. Karena ada kata “suci”, istilah “kongregasi suci” hampir pasti membuat lembaga ini bersifat absolut karena tidak bisa diusik dan dibantah. Dengan mengubahnya menjadi “dikasteri”, lembaga ini menjadi lebih terbuka, lebih melayani, bisa dipimpin oleh seorang profesional, bahkan oleh kaum perempuan.

Saya membayangkan, apabila proses yang sama terjadi dalam perpolitikan di Indonesia, pasti itu akan membawa kemajuan bagi bangsa dan negara. Sayangnya, dalam konteks politik di Indonesia, hal tersebut masih jauh dari harapan, sebab para pemimpin politik di negara kita kebanyakan masih dipilih berdasarkan keturunan, etnis, agama, dan sejenisnya, alih-alih berdasarkan kompetensi.