Keagungan Manusia

Jumat, 7 April 2023 – Hari Jumat Agung

63

Ibrani 4:14-16; 5:7-9

Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita. Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.

Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.

***

Keagungan manusia ditemukan dalam tanda-tanda yang bagaimana? Di dalam diri Yesus yang tersalib, di situlah martabat kemanusiaan yang secitra dengan Allah dipulihkan. Keagungan kemanusiaan tidak terletak pada kekuasaan yang membabi buta seperti yang ditunjukkan oleh beberapa tokoh. Yesus agung karena Ia mendengarkan dan melaksanakan kehendak Bapa. Bukan karena lapar manusia pertama memakan buah yang dilarang Tuhan, tetapi karena mereka tidak mendengarkan dan tidak menaati perintah-Nya. Demikianlah dosa manusia terjadi dari generasi ke generasi.

Kini kita diajak untuk menatap Yesus yang tersalib. Dia adalah Anak Domba Allah yang taat kepada Bapa untuk menjadi penebus dosa manusia. Dia memperbarui martabat manusia dengan cara taat sampai mati, bahkan kematian yang paling keji.

Lantas kita diajak untuk melihat tokoh-tokoh di sekitar peristiwa penyaliban Yesus. Baik Pilatus, maupun tua-tua bangsa Yahudi, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, mereka semua mempunyai suara hati yang mengajarkan kebenaran. Namun, mereka tidak mau mendengarkannya. Mereka mengkhianati suara hati dan takluk pada ketakutan. Mereka semua cuci tangan atas terjadinya kejahatan itu. Meskipun tahu bahwa apa yang mereka lakukan salah, mereka tetap maju dengan kesalahan itu.

Memperjuangkan kebenaran sering kali mengalami kesepian karena harus berjalan seorang diri. Itulah yang dijalani Yesus. Lalu, di mana para rasul? Di mana orang-orang yang mengelu-elukan-Nya saat Yesus memasuki Yerusalem? Di mana pula posisi kita?

Yesus berada di jalan salib, menjadi sama dengan orang-orang yang dianiaya, ditindas, dan disiksa. Dia adalah wajah yang kelihatan dari orang-orang yang tidak pernah diceritakan, yakni mereka yang menderita. Yesus dihukum bersama dua orang penjahat, orang-orang berdosa. Ia memang mencari orang-orang berdosa dan bukan “orang-orang suci” yang tinggal di Bait Allah.

Wajah publik di sekitar Yesus adalah wajah-wajah rakyat yang mimpinya pupus. Orang banyak itu tidak sanggup membela Yesus yang teraniaya di hadapan kekuasaan dosa yang perkasa. Rakyat banyak memang biasanya hanya mampu bermimpi, di mana mimpi itu pada akhirnya terhapus oleh kenyataan. Kisah jalan salib merupakan sebuah tontonan keperkasaan kekuasaan duniawi yang arogan. Yesus dijatuhi hukuman mati untuk memikul dosa-dosa manusia dengan segala praktik jahatnya. Ia yang tidak bersalah, tetapi harus menanggung segala kejahatan manusia. Oleh karena kemunafikan hati manusia, Yesus disalibkan.