Kebahagiaan Sejati

Minggu, 16 Februari 2025 – Hari Minggu Biasa VI

65

Lukas 6:17, 20-26

Lalu Ia turun dengan mereka dan berhenti pada suatu tempat yang datar: di situ berkumpul sejumlah besar dari murid-murid-Nya dan banyak orang lain yang datang dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon.

Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya dan berkata: “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di surga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi. Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis. Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu.”

***

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus dikisahkan turun dari bukit dan berbicara kepada banyak orang yang datang dari berbagai daerah. Mereka datang dengan membawa beban hidup, penyakit, dan keinginan untuk mendengar pengajaran Yesus. Yesus menyampaikan kepada mereka apa yang disebut sabda bahagia. Berbeda dari Injil Matius, ketika berbicara tentang sabda bahagia, Injil Lukas menampilkan kontras yang tajam antara berkat dan peringatan, antara yang miskin dan yang kaya, antara yang menangis dan yang tertawa.

Yesus membuka pengajaran-Nya dengan berkata, Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.” Ungkapan ini mengejutkan. Dunia cenderung memandang kekayaan sebagai tanda kesuksesan dan berkat, sementara kemiskinan dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari. Mengapa Yesus justru menegaskan bahwa dalam kemiskinan terdapat berkat? Sebab, orang miskin lebih mudah bersandar pada Tuhan, lebih terbuka untuk mengandalkan rahmat dan pertolongan-Nya.

Yesus kemudian memperingatkan mereka yang kaya, “Celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu.” Bukan berarti kekayaan itu buruk, Yesus ingin menekankan bahwa mereka yang terlalu mengandalkan kekayaan sering kali melupakan kebutuhan mereka akan Tuhan. Ketika seseorang merasa puas dengan harta duniawi, ia sering kali kehilangan rasa haus akan kehidupan rohani.

Kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam harta duniawi, tetapi dalam hubungan dengan Tuhan. Mereka yang miskin, lapar, dan berduka, yang sering dipandang rendah oleh dunia, justru dipandang berharga oleh Allah. Sebaliknya, mereka yang kaya, puas, dan dipuji oleh dunia harus waspada agar tidak kehilangan arah hidup yang sejati.

Dalam hidup kita sehari-hari, kita mungkin tergoda untuk mengejar kekayaan, pengakuan, dan kenyamanan. Yesus mengingatkan kita bahwa kebahagiaan yang sejati ditemukan dalam kepercayaan dan penyerahan diri kepada Tuhan.