Iman yang Kritis

Kamis, 3 Juli 2025 – Pesta Santo Tomas

58

Yohanes 20:24-29

Tetapi Tomas, seorang dari kedua belas murid itu, yang disebut Didimus, tidak ada bersama-sama mereka, ketika Yesus datang ke situ. Maka kata murid-murid yang lain itu kepadanya: “Kami telah melihat Tuhan!” Tetapi Tomas berkata kepada mereka: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.”

Delapan hari kemudian murid-murid Yesus berada kembali dalam rumah itu dan Tomas bersama-sama dengan mereka. Sementara pintu-pintu terkunci, Yesus datang dan Ia berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: “Damai sejahtera bagi kamu!” Kemudian Ia berkata kepada Tomas: “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.” Tomas menjawab Dia: “Ya Tuhanku dan Allahku!” Kata Yesus kepadanya: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.”

***

Ketika masih kecil, yang mengajari saya naik sepeda adalah kakak laki-laki saya. Pada mulanya, saya menaiki sepeda dan kakak saya memegang sadelnya sambil berjalan di belakang. Saya tidak jatuh karena bagian belakang sepeda dipegang olehnya. Sesekali saya melihat ke belakang untuk memastikan bahwa kakak masih melakukan hal itu. Setelah latihan berlangsung beberapa kali, tanpa saya sadari, kakak diam-diam melepaskan pegangannya, tetapi saya bisa tetap mengayuh sepeda tanpa jatuh. Ketika berhenti dan menoleh, barulah saya sadar bahwa saya telah melaju dengan kekuatan sendiri.

Hari ini, Gereja merayakan Pesta St. Tomas. Dalam bacaan Injil hari ini, kita berjumpa dengan sosoknya yang sering kali mendapat label “si peragu”. Namun, jika direnungkan lebih dalam, Rasul Tomas sesungguhnya adalah pribadi yang memiliki keutamaan luar biasa. Ia justru menjadi cermin bagi iman kita di tengah dunia modern yang penuh dengan tuntutan akan bukti dan pembuktian.

Saat Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya setelah kebangkitan, Tomas tidak ada bersama mereka. Ketika mereka memberitakan bahwa mereka telah melihat Tuhan, Tomas menolak untuk percaya. Ia menuntut pembuktian secara langsung. Bagi sebagian orang, ini adalah pernyataan keraguan. Namun, kalau kita renungkan lebih dalam, kiranya ini adalah ungkapan dari sikap kritis yang bertanggung jawab.

Tomas tidak serta-merta menolak untuk beriman. Dia hanya ingin meyakinkan dirinya bahwa yang mereka katakan itu benar. Dalam hal ini, kita dapat melihat salah satu keutamaan sang rasul, yakni ketulusan hati. Tomas tidak berpura-pura percaya demi menyenangkan orang lain, tetapi tidak pula menutup hati dari kemungkinan bahwa Yesus benar-benar bangkit. Ia berani jujur tentang pergulatan imannya.

Delapan hari kemudian, Yesus menampakkan diri kembali dan kali ini Tomas hadir pula di situ. Yesus memperkenankan Tomas untuk menyentuh luka-luka-Nya sebagai jawaban atas kerinduannya yang terdalam akan kepastian iman. Di sinilah kita melihat kerendahan hati Tomas. Tanpa menyangkal bahwa sebelumnya merasa ragu, ia segera berseru, “Ya Tuhanku dan Allahku!” Pengakuan iman ini luar biasa kuat. Lebih mendalam daripada sekadar pengakuan akan kebangkitan, Tomas dengan ini mengakui keilahian Yesus.

Dari Tomas, kita belajar bahwa iman yang dewasa itu tidak menolak akal budi. Akal budi hendaknya dilibatkan dalam proses untuk percaya. Tomas tidak percaya secara buta. Ia ingin memahami, menyentuh, dan mengalami sendiri. Ketika akhirnya melihat, ia tidak menuntut penjelasan lebih lanjut, tetapi menyerahkan diri dalam kepercayaan total kepada Tuhan.

Dalam dunia yang serba skeptis sekarang ini, yang sering meragukan hal-hal ilahi dan menuntut bukti yang kasatmata, iman seperti Tomas adalah berkat. Kita diajak untuk seperti dia: Tidak takut bertanya, namun tetap rendah hati di hadapan Tuhan. Kita diajak untuk terus bertumbuh dalam keutamaan yang kritis, tulus, dan rendah hati, serta iman yang mendalam. Semoga kita pun mampu berseru seperti Tomas, “Ya Tuhanku dan Allahku!”, bukan karena melihat, melainkan karena percaya.