Mencintai Kebijaksanaan

Rabu, 27 Februari 2019 – Hari Biasa Pekan VII

382

Sirakh 4:11-19

Kebijaksanaan meninggikan segala anaknya, dan orang yang mencarinya dihiraukannya. Siapa yang mencintai kebijaksanaan mencintai kehidupan, dan barangsiapa pagi-pagi menghadapinya akan penuh sukacita. Siapa yang berpaut padanya mewarisi kemuliaan, dan ia diberkati Tuhan di manapun ia berlangkah. Barangsiapa melayani kebijaksanaan bergilir bakti kepada Yang Kudus, dan siapa mencintainya dicintai oleh Tuhan. Siapa mendengarkannya akan memutuskan yang adil, dan aman sentosalah kediaman orang yang mengindahkannya. Jika orang percaya pada kebijaksanaan, niscaya ia mewarisinya, dan keturunannya akan tetap memilikinya. Boleh jadi ia dituntun kebijaksanaan di jalan yang berbelok-belok dahulu, sehingga didatangi ketakutan dan getaran; boleh jadi kebijaksanaan menyiksa dia dengan siasat sampai dapat percaya padanya, dan mengujinya dengan segala aturannya. Tetapi kemudian kebijaksanaan kembali kepadanya dengan kebaikan yang menggembirakan, dan menyingkapkan kepadanya pelbagai rahasia. Jika orang sampai menyimpang, maka dibuang oleh kebijaksanaan dan diserahkan kepada kebinasaan.

***

Kebijaksanaan dapat dipahami sebagai prinsip atau hukum yang berlaku dalam kehidupan manusia. Bila itu dijalani, manusia akan hidup dengan benar dan berbahagia. Prinsip atau hukum kehidupan itu diperoleh melalui pengalaman dari generasi ke generasi, dan diajarkan dengan berbagi cara. Dalam budaya Indonesia, misalnya, prinsip dan hukum kehidupan diajarkan melalui peribahasa. Pengalaman menunjukkan bahwa orang yang boros tidak dapat menjadi kaya, sedangkan orang yang suka berhemat dapat menjadi kaya. Hukum kehidupan yang berasal dari pengalaman ini kemudian disimpan dan diajarkan melalui peribahasa: “Hemat pangkal kaya.” Jika orang hidup menurut hukum ini, yakni hemat dan tidak boros, ia bertindak benar dan akan berbahagia. Orang bijaksana memahami hukum-hukum yang berlaku dalam kehidupan, dan menyesuaikan cara hidupnya dengan hukum-hukum tersebut.

Dalam Perjanjian Lama, kitab Amsal dan kitab Yesus bin Sirakh memuat banyak hal yang berkaitan dengan hukum kehidupan, yang sejak lama diajarkan di antara orang-orang Israel. Para guru kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama menyatakan bahwa kebijaksanaan yang benar adalah yang sesuai dengan kehendak Allah, sebab Allah adalah sumber kebijakanaan yang sesungguhnya. Karena itu, Yesus bin Sirakh mengatakan, “Orang yang berbakti kepada kebijaksanaan, berbakti kepada Allah Yang Kudus, dan orang yang mencintainya, dikasihi Tuhan.” Sebagai seorang guru kebijaksanaan, ia mengajak para muridnya untuk mencari kebiksanaan dan mencintainya. Mencari kebijakanaan berarti para murid harus mempelajari hukum-hukum yang berlaku dalam kehidupan manusia, sekaligus yang sesuai dengan kehendak Allah. Mencintai kebijaksanaan berarti belajar menyesuaikan kehidupannya dengan hukum-hukum itu.

Orang yang mempelajari kebijaksaan dan hidup sesuai dengan kebijaksanaan berkenan kepada Tuhan, sebab kehendak Tuhan tampak dalam kebenaran-kebenaan yang berlaku dalam kehidupan manusia. Tuhan memang menghendaki agar manusia hidup dengan benar dan memperoleh kebahagiaan. Tentu saja kebahagian yang dimaksud bukanlah kegembiraan yang bersifat sementara karena terpuaskannya keinginan manusiawi. Kebahagiaan yang demikian hanyalah kebahagiaan semu karena hanya berpusat pada diri sendiri. Hal ini juga dapat mendorong orang untuk menjadikan sesama, bahkan Tuhan, sebagai sarana untuk memenuhi keinginan itu. Kebahagiaan yang dimaksud jauh lebih mendalam, dirasakan di dalam batin, karena relasi dengan diri sendiri, dengan sesama, dan dengan Tuhan ada dalam keadaan yang baik. Orang bijaksana merasakan kebahagiaan itu karena bersikap benar di hadapan Tuhan; juga bersikap benar terhadap sesama, sehingga kehidupannya bermakna bagi banyak orang.