Perlunya Kedalaman Hidup

Senin, 16 Desember 2019 – Hari Biasa Pekan III Adven

104

Matius 21:23-27

Lalu Yesus masuk ke Bait Allah, dan ketika Ia mengajar di situ, datanglah imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi kepada-Nya, dan bertanya: “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu?” Jawab Yesus kepada mereka: “Aku juga akan mengajukan satu pertanyaan kepadamu dan jikalau kamu memberi jawabnya kepada-Ku, Aku akan mengatakan juga kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu. Dari manakah baptisan Yohanes? Dari surga atau dari manusia?” Mereka memperbincangkannya di antara mereka, dan berkata: “Jikalau kita katakan: Dari surga, Ia akan berkata kepada kita: Kalau begitu, mengapakah kamu tidak percaya kepadanya? Tetapi jikalau kita katakan: Dari manusia, kita takut kepada orang banyak, sebab semua orang menganggap Yohanes ini nabi.” Lalu mereka menjawab Yesus: “Kami tidak tahu.” Dan Yesus pun berkata kepada mereka: “Jika demikian, Aku juga tidak mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu.”

***

Apa yang dilakukan para imam kepala dan pemuka bangsa Yahudi kepada Yesus dalam bacaan Injil hari ini bermula dari perasaan manusiawi, yakni curiga, waswas, dan tentu saja cemburu. Mereka curiga dengan identitas Yesus yang hanya anak tukang kayu. Mereka cemburu terhadap Yesus yang bisa membuat mukjizat, sehingga dalam waktu singkat mampu menghimpun massa yang jumlahnya sangat banyak. Orang-orang itu kalah tenar dari Yesus.

Tentu kita tidak dapat menolak adanya berbagai reaksi manusiawi dalam diri kita. Semuanya itu wajar. Namun, sebagai orang beriman, perasaan manusiawi saja tidak cukup. Kita telah memiliki iman kepada Tuhan, sehingga kita juga wajib melibatkan iman dalam segala macam tanggapan dan tindakan kita.

Banyak konflik terjadi karena orang tidak menunjukkan jati diri yang dewasa. Ada pula yang sering nyinyir jika muncul perbuatan-perbuatan baik dari orang yang dianggapnya sebagai lawan. Mungkinkah kita masuk kategori tersebut? Sekali lagi, tentu saja ini semua berawal dari perasaan manusiawi. Namun, sebagai manusia yang dewasa dalam iman, kita seharusnya senantiasa berusaha untuk menjadi pribadi yang reflektif daripada reaktif. Artinya, selain pertimbangan-pertimbangan manusiawi, kita perlu juga melibatkan Roh Kudus dalam segala situasi yang kita hadapi.

Para imam kepala dan pemuka bangsa Yahudi mengalami dilema ketika diminta Yesus untuk menjawab pertanyaan dari-Nya. Mereka ini “kena batunya” akibat pertanyaan yang mereka ajukan sendiri kepada Yesus. Itulah yang akan terjadi pada orang-orang yang hanya menuruti kehendak manusiawi tanpa mencoba untuk merenung, berefleksi, dan melibatkan karya Roh Kudus dalam hidup mereka. Ada orang yang gemar sekali mengkritik ini dan itu, tetapi sayangnya ia hanya bermodalkan “cepat omong” saja. Ada juga orang yang gemar mengkritik, tetapi dia sendiri tidak mau dikritik. Ingatlah bahwa karya-karya Allah hanya dapat dilihat dan dinikmati oleh orang yang berani mengusahakan kedalaman hidup.

Karena itu, pada Masa Adven kali ini, mari kita mencoba untuk mengubah diri menjadi pribadi yang reflektif. Ada banyak cara yang bisa kita tempuh, misalnya dengan berusaha untuk selalu menahan dan mengendalikan diri. Perbanyaklah komunikasi dengan Allah dalam doa-doa pribadi; sempatkanlah untuk berefleksi dari buku-buku rohani dan Kitab Suci sehingga hidup kita menjadi lebih berwarna.