Memanggil Orang Berdosa

Sabtu, 20 Februari 2021 – Hari Sabtu Sesudah Rabu Abu

211

Lukas 5:27-32

Kemudian, ketika Yesus pergi ke luar, Ia melihat seorang pemungut cukai, yang bernama Lewi, sedang duduk di rumah cukai. Yesus berkata kepadanya: “Ikutlah Aku!” Maka berdirilah Lewi dan meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Dia.

Dan Lewi mengadakan suatu perjamuan besar untuk Dia di rumahnya dan sejumlah besar pemungut cukai dan orang-orang lain turut makan bersama-sama dengan Dia. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bersungut-sungut kepada murid-murid Yesus, katanya: “Mengapa kamu makan dan minum bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” Lalu jawab Yesus kepada mereka, kata-Nya: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.”

***

Suatu ketika seorang sahabat berkisah tentang kekesalannya terhadap ibunya yang sudah lanjut usia. Ia ingin agar ibunya itu berubah dan bersikap lebih baik kepada anak-anaknya. Berkali-kali ia mengajak sang ibu untuk mengaku dosa, tetapi ditolak dengan berkata, “Saya ini tidak punya dosa. Untuk apa mengaku dosa?”

Tidak mungkin ada pertobatan kalau tidak ada pengakuan akan dosa. Tidak mungkin orang akan berubah kalau dirinya merasa tidak mempunyai masalah dan tidak merasa bersalah. “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat,” demikian Yesus menegaskan. Kehadiran dan perkataan-perkataan Yesus tidak menyentuh orang Farisi dan para ahli Taurat yang merasa diri benar. Kesombongan secara legal, moral, dan spiritual inilah yang membuat mata hati orang-orang itu tertutup pada pertobatan.

Kesombongan – dengan merasa diri paling benar, paling baik, dan paling suci – adalah tembok besar yang menghalangi terjadinya perubahan dan pertobatan. Pertobatan sesungguhnya adalah sebuah proses, yang dimulai dari kesadaran akan dosa, pengakuan diri sebagai pendosa, dan berpuncak pada komitmen untuk mengubah hidup. Lewi, si pemungut cukai, lebih terbuka pada pertobatan ketimbang orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, sebab ia menyadari ketidakpantasan dan kedosaan dirinya. Ia membuka hati pada kehadiran Tuhan yang menyapa, menjumpai, dan memanggil.

Saudara-saudari yang terkasih, semoga masa Prapaskah ini menjadi kesempatan bagi kita untuk menyadari segala kelemahan dan kerapuhan kita. Biarkanlah Tuhan menyentuh, menjamah, dan menyembuhkan luka-luka dosa kita. Mari mengakui bahwa kita bukan orang benar, melainkan orang berdosa yang selalu membutuhkan pertolongan dan pengampunan dari Tuhan.