Rumah di Atas Batu

Kamis, 2 Desember 2021 – Hari Biasa Pekan I Adven

271

Matius 7:21, 24-27

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga.”

“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya.”

***

Bacaan Injil hari ini (Mat. 7:21, 24-27) merupakan sebagian penutup khotbah di bukit yang disampaikan Yesus (selengkapnya Mat. 7:13-27). Secara mengejutkan, nasihat-nasihat Yesus yang sejuk dan menghibur ternyata diakhiri dengan sejumlah peringatan yang cukup keras. Meskipun demikian, gaya seperti ini sebenarnya tidak asing dalam Kitab Suci. 

Di atas sebuah bukit, Yesus menyampaikan khotbah-Nya yang terkenal itu, di mana delapan sabda bahagia tercakup di dalamnya. Namun, Yesus tidak ingin bahwa perkataan-perkataan-Nya hanya sekadar enak didengar, menyentuh perasaan, atau membuat para pendengar menangis terharu. Ia menghendaki agar apa yang Ia sampaikan mengubah hidup orang-orang yang percaya kepada-Nya dan mengantar mereka pada keselamatan. Karena itu, Ia pun menegaskan agar mereka melaksanakan nasihat-nasihat itu.

Agar langsung kena sasaran, peringatan disampaikan oleh Yesus dengan menggunakan gambaran eskatologis, yakni penghakiman terakhir. Pada saat penghakiman terakhir, di mana orang akan ditentukan apakah diperkenankan masuk ke dalam Kerajaan Surga atau tidak, para pengikut Yesus yang hanya tahu berseru-seru menyapa-Nya, “Tuhan, Tuhan!” ternyata akan bernasib malang. Penyebabnya, Yesus rupanya memasang standar yang tinggi. Jika kita tidak melaksanakan kehendak Bapa, berdoa seratus kali sehari pun tidak ada gunanya.

Selanjutnya disampaikan sebuah perumpamaan yang menarik dan mudah dipahami, masih dengan nada eskatologis. Mendengar perkataan-perkataan Yesus dijadikan “satu paket” dengan melakukan perkataan-perkataan itu. Orang yang mendengar sekaligus melakukan perkataan-perkataan Yesus adalah orang bijaksana yang mendirikan rumah di atas batu. Ketika badai dan banjir melanda, rumah itu tetap tegak berdiri karena memiliki fondasi yang kokoh. Sebaliknya, orang yang mendengarkan ajaran Yesus, mengaku diri murid-Nya, kagum kepada-Nya, tetapi tidak melaksanakan perkataan-perkataan-Nya disebut orang bodoh. Orang ini ibaratnya membangun rumah di atas pasir. Ketika banjir dan badai datang, rumah tersebut tidak akan berumur panjang, langsung ambruk saat itu juga. Demikianlah, tanpa perbuatan nyata, status kita sebagai murid Yesus sia-sia belaka.

Bersyukur dalam segala situasi, bertindak dengan penuh kasih, dan mengimani kebaikan Allah adalah sebagian isi khotbah di bukit yang disampaikan Yesus. Khotbah itu sangat indah dan menakjubkan, sehingga menjadi kesayangan kita semua, terutama para pembaca Kitab Suci. Namun, setelah mendengarkan itu, kita masih mempunyai satu tugas yang tidak boleh dilewatkan, yaitu melaksanakannya. Kalau pengajaran yang indah itu hanya tersimpan rapi di benak kita, apa gunanya? Bukankah iman yang tidak disertai perbuatan, iman itu pada hakikatnya mati (bdk. Yak. 2:17)?