Iman yang Menghidupkan

Senin, 21 Maret 2022 – Hari Biasa Pekan III Prapaskah

174

Lukas 4:24-30

Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya. Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri. Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon. Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorang pun dari mereka yang ditahirkan, selain dari Naaman, orang Siria itu.” Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.

***

Iman lahir dari pengalaman nyata kedekatan manusia dengan Penciptanya. Iman yang tangguh tidak bertumbuh begitu saja, tetapi muncul dari banyaknya tantangan dan cobaan. Masalah-masalah kehidupan justru akan membuat iman semakin mengakar dan kokoh. Karena itu, entah keadaan yang dihadapi itu baik atau tidak baik, iman kita hendaknya tetap menyala agar menjadi penerang bagi kita menuju kehendak Allah.

Hari ini teladan mengenai iman yang teguh dapat kita lihat dan kita renungkan dari pengalaman Yesus sendiri. Alih-alih bangga dengan karya-karya kebaikan yang dilakukan-Nya, orang-orang Nazaret justru menolak Dia, padahal Nazaret adalah kampung halaman Yesus. Tidak hanya dalam bentuk kata, penolakan ini juga mereka tunjukkan dalam bentuk tindakan, yakni dengan membawa Yesus ke tebing gunung untuk melemparkan Dia dari situ. Ini adalah tindakan yang sungguh memprihatinkan.

Kisah ini mengajak kita untuk masuk dalam permenungan yang mendalam: Bagaimana kita bersikap selama ini? Apakah kita cenderung seperti orang-orang Nazaret itu, yang sering kali sulit menerima kebaikan dan keberhasilan orang lain? Ataukah kita seperti Yesus, yang meskipun mengalami banyak tantangan dan penolakan tetap bertahan untuk melakukan kehendak Allah?

Dalam kehidupan bersama, entah dalam keluarga ataupun dalam masyarakat, kita sering kali sulit mengapresiasi kebaikan orang lain. Alih-alih menghargai, yang lebih sering kita lakukan adalah melontarkan kata-kata yang menjatuhkan atau menyebarkan berita tentang kekurangan atau kelemahan sesama. Kita mudah jatuh pada rasa iri dan cemburu yang membutakan mata dan iman. Kita larut pada egoisme dengan berpandangan bahwa kebaikan hanya pantas dimiliki oleh diri kita saja atau oleh orang-orang yang layak menurut ukuran kita.

Dalam Masa Prapaskah ini, Tuhan mengajak kita untuk berbalik dari kehidupan yang demikian kepada kehidupan yang dipenuhi dengan rasa syukur. Hendaknya kita menyadari bahwa kebaikan yang kita alami layak dialami pula oleh siapa saja. Belas kasihan Allah berlaku untuk semua orang! Anugerah yang diterima sesama adalah rahmat yang perlu disyukuri bersama tanpa perlu dibatasi oleh pikiran-pikiran mengenai siapa dia dan bagaimana latar belakang orang itu. Dengan demikian, kita semua berani mengulurkan tangan bagi mereka yang hidup dalam penderitaan dan berjalan bersama untuk mewartakan kehendak Tuhan. Tindakan pertobatan ini hanya dapat kita lakukan jika Yesus menjadi acuan hidup kita. Dengan itu, kita akan tetap teguh dalam iman, sekalipun menghadapi badai pencobaan hidup yang sangat hebat.

Marilah berdoa: “Tuhan Yesus, ajarlah kami untuk berani meneladani Engkau, yakni dengan setia beriman terutama pada Masa Prapaskah ini. Amin.”