Hukum yang Baru

Sabtu, 2 Juli 2022 – Hari Biasa Pekan XIII

69

Matius 9:14-17

Kemudian datanglah murid-murid Yohanes kepada Yesus dan berkata: “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. Tidak seorang pun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabik baju itu, lalu makin besarlah koyaknya. Begitu pula anggur yang baru tidak diisikan ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian kantong itu akan koyak sehingga anggur itu terbuang dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan demikian terpeliharalah kedua-duanya.”

***

Don’t judge a book by its cover adalah sebuah kalimat bijak yang sering dipakai untuk menunjukkan pentingnya menilai seseorang bukan dari tampilan luarnya, melainkan dari kualitas batinnya. Saya teringat, dalam sebuah retret yang saya ikuti, sang pembimbing mengajarkan kami lagu Persons Are Gifts. Yang menarik, dalam lagu itu ada bagian yang mengatakan bahwa setiap orang adalah hadiah dari Tuhan. Hadiah itu sebagian memiliki bungkus yang rapi, sebagian yang lain tidak. Namun, Tuhan tidak menghadiahkan bungkusan. Yang dihadiahkan oleh Tuhan adalah isinya, yaitu pribadi manusia.

Murid-murid Yohanes mengajukan protes kepada Yesus terkait tradisi puasa yang tidak dijalankan oleh para murid-Nya. Yesus lalu mengajarkan kepada mereka tentang hakikat puasa. Puasa bukan soal menjalankan tradisi untuk tidak makan dan minum pada saat tertentu. Tujuan puasa adalah agar semakin dekat dengan Allah dan mengasihi Dia. Kantong kulit lama, anggur lama, dan baju yang tua adalah tradisi Yahudi yang sudah usang dan tidak membawa orang pada keselamatan. Tradisi itu berhenti pada aturan boleh atau tidak boleh saja, sehingga sebaiknya ditinggalkan.

Yesus membawa anggur baru dan kantong kulit yang baru dari Kerajaan Allah. Aturan keagamaan haruslah mengantar orang semakin dekat dengan sang Mempelai, sumber sukacita sejati. Puasa dengan demikian hendaknya membuat orang makin merasakan kehadiran Allah yang membebaskan dan membawa sukacita. Puasa juga hendaknya mempererat persahabatan dengan sesama dan menjauhkan dari kecenderungan merasa diri paling benar. Puasa bukan soal tata lahir: Orang menjalankannya sekadar demi menjalankan aturan dan menyebut bersalah mereka tidak menjalankannya. Puasa lahir, yakni tidak makan atau minum, adalah sekadar sarana untuk semakin mengarahkan hati seseorang kepada Tuhan dan sesama.

Aturan atau hukum keagamaan memang penting, tetapi itu hanyalah bungkusan yang isinya adalah kasih kepada Tuhan dan sesama. Kesetiaan menjalankan aturan hendaknya semakin membuat kita semakin mengasihi Tuhan dan saudara-saudari kita. Harus kita ingat bahwa praktik-praktik keagamaan lahiriah adalah sarana untuk menumbuhkan nilai-nilai Kerajaan Allah, yakni kasih, sukacita, damai sejahtera, dan keadilan.