Menjadi Tanah yang Subur

Rabu, 20 Juli 2022 – Hari Biasa Pekan XVI

84

Matius 13:1-9

Pada hari itu keluarlah Yesus dari rumah itu dan duduk di tepi danau. Maka datanglah orang banyak berbondong-bondong lalu mengerumuni Dia, sehingga Ia naik ke perahu dan duduk di situ, sedangkan orang banyak semuanya berdiri di pantai. Dan Ia mengucapkan banyak hal dalam perumpamaan kepada mereka. Kata-Nya: “Adalah seorang penabur keluar untuk menabur. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itu pun segera tumbuh, karena tanahnya tipis. Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan mengimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!”

***

Kerajaan Allah diumpamakan oleh Yesus seperti seorang yang menaburkan benih yang baik di tanah yang berbeda-beda. Benih yang jatuh di tepi jalan akan dimakan burung sebelum bertumbuh. Yang jatuh di tanah tipis akan tumbuh, tetapi cepat mati ketika terkena sinar matahari karena akarnya tidak tertanam secara mendalam dan sumber makanannya kurang. Yang jatuh di tanah bersemak duri akan tumbuh, tetapi akhirnya mati karena terimpit oleh ganasnya pertumbuhan semak duri. Sementara itu, benih yang jatuh di tanah yang subur akan tumbuh, berkembang, dan berbuah secara berlipat ganda.

Apa yang mau disampaikan Yesus melalui perumpamaan ini? Benih adalah sabda Allah, sedangkan tanah adalah hati kita. Dari empat jenis tanah yang ditampilkan Yesus dalam perumpamaan-Nya, jenis tanah yang manakah hati kita? Apakah tanah di pinggir jalan, di mana kita tidak peduli dan membiarkan saja sabda Allah dirampas dari kita? Ataukah tanah berbatu, di mana sabda itu tumbuh tetapi tidak mendalam karena kekerasan hati kita? Ataukah tanah bersemak duri, di mana sabda itu tumbuh tetapi kemudian mati terimpit oleh keinginan-keinginan duniawi yang tidak teratur dalam diri kita? Sudahkah kita menjadi tanah yang subur, di mana benih sabda yang kita terima menghasilkan buah berlipat ganda?

Yesus menginginkan hati kita menjadi tanah yang subur bagi sabda-Nya. Bila hati kita seperti tanah di pinggir jalan, mari kita menggemburkan dan menyiraminya. Bila hati kita bagaikan tanah yang berbatu, hendaknya batu-batu kekerasan hati kita itu, yakni kebencian, kemarahan, iri hati, kedengkian, dendam, dan sebagainya, kita singkirkan. Bila hati kita bagaikan tanah bersemak duri, mari kita memperkokoh diri agar dapat bertahan di tengah impitan kekuatan-kekuatan jahat dan godaan-godaan yang dapat menjauhkan kita dari Tuhan. Bila hati kita sudah menjadi tanah yang subur, mari kita tekun memeliharanya, sehingga tetap menghasilkan buah berlipat ganda.

Untuk menjadi tanah yang subur, kita membutuhkan kekuatan dan energi. Sumber kekuatan kita ialah Tuhan sendiri. Dalam penziarahan kita di dunia ini, Yesus memberikan tubuh-Nya melalui Ekaristi sebagai sumber kekuatan kita. Dengan menyantap tubuh Kristus, kita bersatu dengan-Nya dan dikuatkan untuk mengolah tanah hati kita menjadi tanah yang subur. Semoga tanah hati kita senantiasa menghasilkan buah-buah sabda secara berkelimpahan.