Otoritas: Melayani dan Memberdayakan

Senin, 12 Desember 2022 – Hari Biasa Pekan III Adven

77

Matius 21:23-27

Lalu Yesus masuk ke Bait Allah, dan ketika Ia mengajar di situ, datanglah imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi kepada-Nya, dan bertanya: “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu?” Jawab Yesus kepada mereka: “Aku juga akan mengajukan satu pertanyaan kepadamu dan jikalau kamu memberi jawabnya kepada-Ku, Aku akan mengatakan juga kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu. Dari manakah baptisan Yohanes? Dari surga atau dari manusia?” Mereka memperbincangkannya di antara mereka, dan berkata: “Jikalau kita katakan: Dari surga, Ia akan berkata kepada kita: Kalau begitu, mengapakah kamu tidak percaya kepadanya? Tetapi jikalau kita katakan: Dari manusia, kita takut kepada orang banyak, sebab semua orang menganggap Yohanes ini nabi.” Lalu mereka menjawab Yesus: “Kami tidak tahu.” Dan Yesus pun berkata kepada mereka: “Jika demikian, Aku juga tidak mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu.”

***

Dalam kehidupan bermasyarakat, selalu ada pemegang otoritas yang memiliki kuasa untuk memutuskan atau memerintahkan sesuatu. Orang yang memiliki otoritas diharapkan berpegang pada kebenaran dan menggunakan otoritasnya untuk pelayanan terhadap orang banyak. Namun, apakah semua pemegang otoritas bersikap demikian? Belum tentu. Banyak yang justru memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki untuk kepentingan pribadi atau golongannya sendiri.

Dalam bacaan Injil hari ini, imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi mempertanyakan kepada Yesus, dengan kuasa dari mana Dia melakukan pengajaran, mukjizat, mengusir para pedagang dari Bait Allah, menyembuhkan orang sakit, dan menyatakan dosa seseorang diampuni. Orang-orang itu mempertanyakan otoritas Yesus. Menanggapi pertanyaan tersebut, Yesus balik mempertanyakan pendapat mereka tentang pembaptisan yang dilakukan Yohanes.

Yesus melakukan itu bukan untuk menghindar, melainkan untuk menunjukkan dua hal. Pertama, kebenaran pewartaan Yohanes Pembaptis bahwa Yesus adalah Mesias. Kedua, ketidakjujuran orang-orang yang dihadapi-Nya itu. Mereka bertanya bukan karena mau mengetahui kebenaran, tetapi karena kehadiran Yesus dirasa mengancam otoritas mereka. Terbukti, karena takut menyatakan kebenaran, mereka lalu menjawab dengan berkata, “Kami tidak tahu.”

Kita masing-masing juga memiliki otoritas dengan porsi yang berbeda-beda. Pada batas-batas tertentu, kita memiliki otoritas atas diri kita, orang tua memiliki otoritas atas anak-anaknya, guru memiliki otoritas atas para muridnya, pemimpin negara memiliki otoritas atas rakyat yang dipimpinnya, dan seterusnya. Otoritas adalah kepercayaan. Seorang yang mempunyai otoritas berarti dipercaya untuk mengemban tanggung jawab dalam rangka melayani dan memberdayakan orang lain. Memberdayakan, bukan memperdaya! Sayangnya, tidak jarang orang tergoda memanfaatkan otoritas mereka demi memuaskan kepentingan-kepentingan pribadi. Mereka tergoda melakukan “aji mumpung”: Mumpung berada di posisi yang tinggi, mereka melakukan ini dan itu demi keuntungan sendiri. Mereka lupa bahwa otoritas adalah amanat untuk melayani kepentingan orang banyak.

Bagaimana seharusnya kita menggunakan otoritas yang kita miliki? Mari kita becermin pada Yesus yang diberi otoritas oleh Bapa. Pertama, Yesus melayani dengan penuh cinta kasih. Ia bahkan mengorbankan nyawa-Nya sendiri karena cinta. Kedua, Yesus memberdayakan orang lain. Ia mengundang semua orang untuk bertumbuh dalam cinta kasih, memiliki solidaritas, dan membantu lebih banyak orang agar mengalami keselamatan.

Saudara-saudari terkasih, jangan pernah takut berkorban untuk pekerjaan-pekerjaan cinta kasih. Itu adalah pekerjaan Allah dan kita adalah alat-Nya. Marilah kita memohon kepada Allah agar kita diberdayakan sehingga dapat melayani dengan penuh cinta kasih.