Kasih yang Sempurna dan Tak Terbatas

Selasa, 20 Juni 2023 – Hari Biasa Pekan XI

70

Matius 5:43-38

“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna.”

***

Kita sering memperlawankan hukum Taurat dengan hukum kasih. Agama Yahudi dicap sebagai agama hukum, sedangkan agama Kristen adalah agama kasih, padahal Yesus mengutip hukum kasih dari Perjanjian Lama dalam ajaran-Nya, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Im. 19:18).

Rumusan “bencilah musuhmu” memang tidak diajarkan secara eksplisit dalam Perjanjian Lama, meskipun ada banyak perintah dan ajakan untuk menumpas musuh-musuh Israel atau membenci sesama orang Israel yang tidak setia dan taat pada hukum Taurat (mis. Ul. 7:2; Mzm. 26:5; 139:21-22). Mungkin Yesus di sini merumuskan sikap yang lazim di kalangan golongan Yahudi tertentu pada zaman-Nya (seperti kaum Farisi, kelompok Qumran, dll.) yang memang membenci kelompok lain yang kurang taat pada hukum Taurat, apalagi orang asing.

Yang jelas, Yesus memperluas hukum kasih dalam Perjanjian Lama. Ia bahkan ingin agar para pengikut-Nya melampaui logika pertentangan antara kasih dan benci. Mengapa? Karena kebencian justru harus ditanggapi dengan mengasihi tanpa batas. Jemaat Tuhan dari dulu sampai kini sering kali ditolak, dihambat, dibenci, dan dianiaya oleh pelbagai pihak. Kebencian itu harus dilawan dan dikalahkan oleh kasih tanpa pamrih. Konkretnya seperti apa?

Pertama, dengan mendoakan para musuh agar mereka diampuni. Selain menjadi sasaran kebencian dan ketidakadilan, kita sering mendapat ejekan, fitnah, dan kata-kata kasar dari para pembenci kita. Reaksi manusiawi yang wajar adalah pembalasan, baik lewat perkataan maupun tindakan. Yesus justru meminta kita untuk mendoakan lawan-lawan kita. Artinya, serahkan mereka kepada Allah. Hanya Allah yang mampu mengubah hati manusia. Dialah yang mampu mengubah kebencian dan dendam. Dengan demikian, kita semakin mirip dengan Bapa yang adil terhadap semua ciptaan-Nya, yang menerbitkan matahari untuk orang baik dan orang jahat!

Kedua, dengan terus berbuat baik, tidak saja untuk kalangan sendiri, tetapi juga untuk orang lain, termasuk para pembenci. Yesus menuntut para murid-Nya untuk berbuat lebih dari yang biasa. Harus ada lompatan kualitas dan cakupan, juga dalam sikap dan perbuatan baik. Berbuat baik dan memberi salam kepada siapa pun, termasuk kepada musuh, harus menjadi sikap yang biasa di kalangan para murid Yesus. Dengan demikian, mengasihi siapa pun, bahkan termasuk musuh, menjadi tolok ukur tertinggi untuk sungguh menjadi pengikut Kristus dan anak-anak Allah yang sejati, yang selalu berupaya menjadi sempurna seperti Bapa di surga.

Kita mengasihi sesama karena kita sudah dikasihi Allah. Pengalaman dikasihi oleh-Nya menjadi dasar tindakan mengasihi sesama. Karena kasih-Nya sempurna dan tak terbatas, kasih kita pun seharusnya total dan melampui batas-batas.