Bapa Kami, Doa yang Sejati

Kamis, 22 Juni 2023 – Hari Biasa Pekan XI

86

Matius 6:7-15

“Lagi pula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya. Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di surga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari yang jahat. [Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.]

Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”

***

Setelah menegaskan inti dan prinsip doa yang benar, Yesus memberikan contoh doa sejati, yaitu doa Bapa Kami. Relasi personal dengan Allah terasa sejak kata pertama, saat kita menyapa Dia dengan “Bapa kami”. Yesus ingin semua pengikut-Nya juga mengalami kehangatan dan kedalaman relasi-Nya dengan Bapa. Menyebut Allah sebagai Bapa membuat kita merasa diterima dan didengarkan. Itulah atmosfer yang paling penting untuk memulai relasi, di mana kita mulai melihat seluruh proyek Allah: Dialah yang menguduskan nama-Nya; Dialah yang mewujudkan kerajaan-Nya; Dialah yang melaksanakan kehendak-Nya di surga dan bumi. Bagaimana hal-hal itu konkretnya terjadi kini dan di sini?

Itulah yang kita mohon agar terjadi di dunia ini, yakni makanan, pengampunan, dan pembebasan dari yang jahat! Kekudusan nama-Nya terwujud saat kita ikut terlibat dalam proyek-Nya menyediakan makanan jasmani bagi kita dan dunia. Kerajaan-Nya mulai nyata saat kita berbagi makanan. Betapa sering kita mempersempit agama pada soal doktrin dan ibadat. Betapa sering agama hanya menyibukkan diri dengan “memenangkan dan menyelamatkan jiwa”. Surga, neraka, api penyucian, dan hidup kekal menjadi “jualan rohani” yang terus dikhotbahkan. Agama dipisahkan dari realitas sosial. Pantas saja banyak pemikir mencibir dan mencap agama itu narkoba saja, yang mengobral mimpi dan ilusi.

Kehendak Bapa juga mulai terlaksana saat pengampunan yang kita terima dari-Nya kita bagi dan tularkan kepada sesama. Kita adalah manusia pendosa yang sudah Bapa kasihi dan ampuni. Pengalaman akan kasih dan pengampunan dari Bapa itulah yang menjadi dasar kita mengampuni sesama. Kita mencintai karena sudah dicintai. Kita mengampuni karena sudah diampuni.

Kehendak Bapa mulai terlaksana saat Ia menjaga kita dari pencobaan si jahat. Godaan dan pencobaan itu adalah bagian dari pendidikan-Nya, agar kita bertumbuh menjadi dewasa dalam iman. Yesus, sang Anak sendiri mengalaminya, apalagi kita. Teladan sang Anak itu hendaknya juga menjadi pola hidup kita dalam menghadapi dan mengelola pencobaan dan godaan, yaitu percaya pada penyelengaraan dan kasih Bapa dalam segala kesulitan dan kebutuhan. Kita pun dipanggil untuk berupaya dan berkomitmen secara nyata dan konkret memerangi aneka bentuk kejahatan dan kepalsuan dalam diri kita, dalam jemaat, dan dalam dunia sekitar kita.