Iman yang Dihambat oleh Sikap Hati

Jumat, 1 Agustus 2025 – Peringatan Wajib Santo Alfonsus Maria de Liguori

46

Matius 13:54-58

Setibanya di tempat asal-Nya, Yesus mengajar orang-orang di situ di rumah ibadat mereka. Maka takjublah mereka dan berkata: “Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mukjizat-mukjizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi dari mana diperoleh-Nya semuanya itu?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya.” Dan karena ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mukjizat diadakan-Nya di situ.

***

Yesus dikisahkan kembali ke tempat asal-Nya, Nazaret, dan mengajar di rumah ibadat. Orang-orang kagum akan kebijaksanaan dan kuasa-Nya, tetapi kekaguman itu dengan cepat berubah menjadi keraguan dan penolakan. Mereka bertanya-tanya, “Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita?” Lalu, Injil mencatat, “Mereka kecewa dan menolak Dia.”

Sangat menarik bahwa orang-orang yang paling mengenal Yesus secara manusiawi justru tidak mampu mengenali siapa Dia sesungguhnya. Mereka dibatasi oleh pandangan lama, prasangka, dan kebiasaan. Mereka melihat Yesus hanya sebagai “anak tetangga”, bukan sebagai Mesias. Karena itu, Yesus tidak dapat melakukan banyak mukjizat di sana disebabkan oleh kurangnya iman mereka.

Kisah ini sangat relevan bagi kita. Kita pun bisa jatuh dalam sikap yang sama, yakni menganggap remeh hal-hal rohani karena terlalu biasa. Kita tidak percaya bahwa Tuhan bisa bekerja melalui orang-orang sederhana di sekitar kita. Kita menutup mata karena merasa sudah tahu siapa Yesus, padahal kita belum sungguh terbuka kepada-Nya.

Sering kali kita tidak bisa melihat siapa Yesus sebenarnya bukan karena Dia kurang jelas, melainkan karena mata kita tertutup oleh kedekatan dan kebiasaan. Kita berpikir bahwa kita sudah tahu segalanya tentang Dia, padahal yang kita tahu hanyalah sisi luar-Nya.

Terkadang pula Tuhan hadir begitu dekat dalam hidup kita melalui orang tua, pasangan hidup, sahabat, bahkan anak kecil, tetapi kita tidak melihat-Nya karena merasa sudah terlalu kenal dengan orang-orang itu. Karena terbiasa, kita lalu menganggap biasa, kemudian kehilangan rasa hormat dan kagum.

Iman yang sejati membutuhkan hati yang terbuka, rendah hati, dan siap menerima bahwa Allah bisa bekerja dengan cara yang tidak terduga. Ketika kita menutup diri karena prasangka, luka lama, atau keangkuhan rohani, kita sebenarnya menghambat karya Tuhan dalam hidup kita. Yesus tidak memaksakan mukjizat di tengah orang yang tidak percaya. Ini menunjukkan bahwa iman bukan hanya soal pikiran, melainkan juga soal hati yang mau percaya meski tidak mengerti sepenuhnya.